Munculnya klimaks pada
sebuah cerita fiksi, akan menimbulkan reaksi tersendiri bagi pembaca. Dengan
begitu, betapa pentingnya sebuah klimaks bagi keberlangsungan cerita itu
dicerna.
Secara sederhana bisa
dikatakan bahwa fiksi bertumpu pada karakter dan cerita. Karakter—saya lebih
suka memakai terminologi ini sebab di dalam menyangkut dua hal sekaligus, yaitu
tokoh dan watak—tanpa cerita hanya akan merupakan kata-kata deskripsi saja, tak
ada pergerakan, statis. Pun, sebaliknya tidak mungkin ada cerita tanpa
karakter, tidak akan jelas tentang siapa yang diceritakan. Semua hanya berisi
kejadian, tanpa dapat diketahui siapa yang mengalaminya. Tentu akan
membingungkan yang membacanya.
Cerita adalah peristiwa yang dialami oleh karakter.
Cerita diletakkan dalam sebuah plot. Di dalam plot itu, karakter dihadapkan
pada konflik yang harus dihadapinya. Seringkali para ahli sastra menggambarkan
plot itu seperti sebuah gunung. Konflik bergerak mendaki gunung itu. Pada satu
titik tertentu, konflik mencapai puncak tertinggi di mana benturan yang terjadi
sedemikian dahsyatnya sampai-sampai terbukanya titik kesadaran baru pada
karakter utamanya. Itulah titik tertinggi konflik yang biasa disebut dengan klimaks.
Puncak tertinggi itu tidak mesti di tengah-tengah cerita, bisa saja mendekati
ujung cerita. Tapi, rasanya sulit menemukan klimaks di awal cerita. Setelah
klimaks, cerita tidak bergerak lagi, tak ada gejolak lagi, tak ada pertentangan
lagi. Yang muncul kemudian adalah suasana baru yang berbeda dari suasana
sebelum klimaks terjadi.
Rachel Ballon
(2005)[1] menyebutkan tiga elemen penting
yang harus ada di dalam klimaks, yaitu (1) karakter utama harus mengalami
sebuah perubahan, (2) karakter mencapai pemahaman baru atau menemukan
sesuatu yang baru tentang dirinya atau orang lain yang belum diketahui
sebelumnya, (3) dalam terminologi psikologis, karakter mengalami sebuah
katarsis atau mendapatkan pandangan baru tentang dirinya. Bila karakter
tidak berubah atau mengalami transformasi emosional, berarti kegagalan dalam
klimaks alih-alih dianggap sebagai klimaks yang tidak sempurna.
Perubahan harus dialami oleh karakter utama. H.B.
Jassin dulu mensyaratkan bahwa dalam sebuah novel harus terjadinya perubahan
atau peralihan nasib yang dialami karakter. Pada dasarnya, perubahan nasib itu
bukan pada novel saja, melainkan pada bentuk lain. Perubahan nasib itu tidak
melulu ke arah yang lebih baik, bisa jadi ke arah lain, misalnya, miskin
menjadi kaya, senang menjadi susah, sengsara menjadi bahagia, dan seterusnya.
Novel-novel lama yang cenderung happy
ending tentu lebih menyukai
perubahan nasib dari yang buruk kepada yang lebih baik. Namun, penulis-penulis
novel modern cenderung menyukai kebalikannya.
Menurut saya, penulis
tidak akan mengabaikan tema atau amanat untuk menentukan perubahan nasib
karakter utamanya. Sebab, kejadian setelah klimaks itu sebagai cerminan
bagi pembaca bila melakukan hal yang dilakukan oleh karakter utama. Dalam
cerita yang bernuansa religius, misalnya, diceritakan karakter utamanya suka
memfitnah orang sehingga banyak yang sakit hati, lalu ketika dia mengalami
kecelakaan tak satu pun yang menolongnya hingga dia pun mati mengenaskan.
Tampaknya, amanat yang ingin disampaikannya adalah agar pembaca tidak suka
memfitnah sebab nanti akan mengalami peristiwa tragis seperti yang dialami
karakter tersebut.
Dalam The Kite Runner[2],
misalnya, Amir pada akhirnya mengetahui bahwa satu-satunya sahabatnya,
Hassan, yang pernah dikhianatinya sehingga pergi meninggalkan rumahnya itu
adalah saudaranya dari lain ibu. Amir tidak pernah menduga hal itu sebelumnya
sebab ayahnya merahasiakan sesuatu pada masa lalunya yang akan membuat aib
keluarganya sehingga Hassan diperlakukan di rumah mereka sebagai anak
pembantu. Itu adalah surprised, bukan saja bagi Amir, melainkan juga bagi
pembaca novel tersebut.
Coba kita ingat novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis. Buyung, karakter
utama novel itu, mengalami katarsis, menemukan sebuah kesadaran baru yang luar
biasa yang tidak terlupakan oleh pembaca novel ini. Buyung yang mengikat Wak
Katok pada sebuah pohon sebagai umpan harimau yang telah menewaskan beberapa
temannya itu tetap menembak mati harimau itu yang melompat untuk menerkam Wak
Katok, padahal sebelumnya Wak Katok telah berusaha untuk membunuhnya. Buyung
bisa saja membiarkan Wak Katok terbunuh, tetapi rupanya dia tidak membiarkan
dirinya dikuasai “harimau” yang ada di hatinya. Dia pun membunuh “harimau” itu
dengan menembak harimau yang sedang melompat menerkam dan sekaligus
menyelamatkan Wak Katok.
Ending yang dramatic akan memberikan warna dan kesan
tersendiri bagi pembaca. Sebagian besar sebuah cerita akan bertumpu pada akhir
cerita, bagaimana harus diakhiri. Dengan begitu Klimaks pada sebuah cerita akan
terlihat jelas dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dapat sampai
dengan baik.
Akhirnya mari
berproses mengenal karakter dan mengenal banyak masalah yang dialami oleh orang
kebanyakan yang akan dijadikan refrensi bagi penulis. Selamat mencoba.
0 komentar:
Posting Komentar