KARAKTERISTIK
ANGKATAN BALAI PUSTAKA
- Sebagian besar sastra angkatan Balai Pustaka mengambil tema masalah kawin paksa (Menurut masyarakat perkawinan itu urusan orang tua, pihak orang tua berkuasa sepenuhnya untuk menjodohkan anaknya).
- Latar belakang sosial sastra angkatan Balai Pustaka berupa pertentanga paham antara kaum muda dengan kaum tua. Kita bisa mengaambil contoh novel Salah Asuhan, Si Cebol Rindukan Bulan, yang memiliki kecenderungan simpati kepada yang lama, bahwa yang baru tidak semuanya membawa kebaikan.
- Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas. Pelaku-pelaku novel angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah-daerah.
- Peristiwa yang diceeeritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
- Analisis psikologis pelakunya belum dilukiskan secara mendalam.
- Sastra Balai Pustaka merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis yaitu lebih cenderung pada sesuatu khususnya mengenai permasalahan diatas sehingga terlihat seolah-olah karyanya hanya itu-itu saja/monoton.
- Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa melayu umum.
- Genre sastra Balai Pustaka berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair.
SEBUTKAN CIRI-CIRI
ANGKATAN 45, BERIKAN TIGA CONTOH PENGARANG DAN TIGA CONTOH
- bebas, artinya tidak berhubungan dengan masalah adat istiadat, tidak tertuju pada satu aturan,
- realistic, artinya menceritakan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
- futuristic, artinya karya sastra menciptakan hal-hal baru dan berorientasi pada masa depan,
- individualistic, artinya karya benar-benar menceritakan isi perasaan dan pikiran pengarangnya (Laelasari, 2007:20).
Pengarang
- Rivai Apin
Pelarian (sajak) Jembatan Patah (sajak) dan Mual
(sajak)
- Asrul Sani
Karyanya:
Mantera (Puisi), Sahabat Saya Cordiaz (cerpen), dan
Bola Lampu (cerpen)
- Chairil Anwar
Aku, (Puisi),
doa (Puisi) dan Nisan (Puisi)
KARAKTERISTIK KARYA SASTRA ANGKATAN 50-AN
Karya sastra angkatan 50-an memiliki
karakteristik tersendiri, diantaranya adalah :
1.
Struktur
Estetik
Dalam genre puisi berupa :
a.
Gaya
epik (bercerita) berkembang dengan berkembngnya puisi cerita dan balada, dengan
gaya yang lebih sederhana dari puisi lirik.
b.
Gaya
mantra mulai tampak balada-balada.
c.
Gaya
ulangan mulai berkembang.
d.
Gaya
puisi liris pada umumnya masih meneruskan gaya angkatan 45.
e.
Gaya
slogan dan retorik.
Dalam genre prosa berupa :
Dalam
hal prosa, rupa-rupanya cirri-ciri struktur estetik angkatan 45 masih tetap
diteruskan oleh periode 50 ini hingga pada dasarnya tak ada perbedaan ciri
srtuktur estetik prosa ini baru tampak jelas dalam periode 70.
Hanya
saja pernah dikatakan bahwa gaya bercerita pada periode angkatan 50 ini adalah
gaya murni bercerita, dalam arti, gaya bercerita hanya menajikan cerita saja,
tanpa menyisipkan komentar, pikiran-pikiran sendiri, atau pandangan-pandangan
semuanya itu melebur dalam cerita seperti puisi imajisme yang hanya menyajikan
imaj-imaji berupa lukian atau gambaran, sedangka pikiran, tema, kesimpulan,
terserah pada pembaca bagaimana menafsirkannya. Inilah yang merupakan perbedaan
pokok dengan cerita rekaan angkatan 45 misalnya jelas seperti cerpen-cerpen
Subagio Sastrowardojo, Trisnojuwono, dan Umar Kayam. Dengan hanya disajikannya
cerita murni ini, maka alur menjadi padat.
2. Ekstra Estetik
Dalam genre puisi berupa :
a.
Ada
gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan.
b.
Mengungkapkan
masalah social, kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar, dan
belum ada pemerataan hidup.
c.
Banyak
mengemukakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok sajak
balada.
3. Dalam genre prosa berupa :
a.
Cerita
perang mulai berkurang.
b.
Menggambarkan
kehidupan sehari-sehari.
c.
Kehidupan
pedesaan dan daerah mulai digarap seperti tampak dalam novel Toha Mochtar
pulang, Bokor Hutasuhut : Penakluk Ujung Dunia, dan cerpen-cerpen Bastari Asnin
: Di Tengah Padang dan cerpen-cerpen Bastari Asnin Di Tengah Padang dan
cerpen-cerpen Yusah Ananda.
d.
Banyak
mengemukakan pertentangan-pertentangan politik.
Visi-misi dari angkatan 50 ini adalah memantulkan kehidupan masyarakat yang masih harus terus berjuang dan berbenah di awal-awal masa kemerdekaan lewat karya sastra. Menghadirkan karya sastra Indonesia dengan menggunakan bahan dari sastra dan kebudayaan Indonesia sendiri.
Visi-misi dari angkatan 50 ini adalah memantulkan kehidupan masyarakat yang masih harus terus berjuang dan berbenah di awal-awal masa kemerdekaan lewat karya sastra. Menghadirkan karya sastra Indonesia dengan menggunakan bahan dari sastra dan kebudayaan Indonesia sendiri.
KARAKTERISTIK
KARYA SASTRA ANGKATAN 66
Karya sastra angkatan 66 memiliki
karakteristik tersendiri, diantaranya yaitu :
a. Mulai
dikenal gaya epik (bercerita) pada puisi (muncul puisi-puisi balada)
b. Puisinya
menggambarkan kemuraman (batin) hidup yang menderita.
c. Prosanya
menggambarkan masalah kemasyarakatan, misalnya tentang perekonomian yang buruk,
pengangguran, dan kemiskinan.
d. Cerita
dengan latar perang dalam prosa mulai berkurang, dan pertentangan dalam politik
pemerintahan lebih banyak mengemuka.
e. Banyak
terdapat penggunaan gaya retorik dan slogan dalam puisi.
f. Muncul
puisi mantra dan prosa surealisme (absurd) pada awal tahun 1970-an yang banyak
berisi tentang kritik sosial dan kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah.
g. Menegakkan
keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 45, menentang komunisme
dan kediktatoran, bersama Orde Baru yang dikomandani Jendral Suharto ikut
menumbangkan Orde Lama, mengikis habis LEKRA dasn PKI. Sastra Angkatan ’66
berobsesi menjadi Pancasilais sejati. Yang paling terkenal adalah “Tirani” dan
“Benteng” antologi puisi Taufiq Ismail. Hampir seluruh tokohnya adalah
pendukung utama Manifes Kebudayaan yamng sempat berseteru dengan LEKRA.
IMBRIO
KONTEMPORER DALAM SEJARAH SASTRA
Imbrio kontemporer
dalam sejarah sastra, sudah dimulai sejak angkatan 45, hal tersebut bisa kita
lihat dari karya-karya para angkatan 45 yang tidak lagi terpaku pada
kaidah-kaidah puisi. Hal tersebut juga
terlihat upaya pemberian efek ekspresif dalam kontemporer yang juga menjadi
ciri pada angkatan 45. Karya sastra berkembang hingga angkatan 66 dan menjadi
sempurna pada angkatan 70an hingga sekarang.
CIRI-CIRI PUISI KONTEMPORER
- Puisi bergaya mantra dengan sarana kepuitisan berupa pengulangan kata, frasa, atau kalimat
- Gaya bahasa paralelisme dikombinasi dengan gaya bahasa hiperbola dan enumerasi dipergunakan penyair untuk memperoleh efek pengucapan maksimal.
- Tipografi puisi dieksploitasi secara sugestif dan kata-kata nonsens dipergunakan dan diberi makna baru.
- Kata-kata dari bahasa daerah banyak dipergunakan untuk memberi efek kedaerahan dan efek ekspresif.
- Asosiasi bunyi banyak digunakan untuk memeroleh makna baru
- Banyak digunakan gaya penulisan prosaic.
- Banyak menggunakan kata-kata tabu
- Banyak ditulis puisi lugu untuk mengungkapkan gagasan secara polos.
PELAJARI TENTANG BEBERAPA PERISTIWA YANG TERJADI DALAM
ANGKATAN 66.
0 komentar:
Posting Komentar