Alkisah, seribu tahun yang lalu, di Negeri Maduratna, bertahtalah seorang ratu bernama Madu. Ia punya seorang kekasih bernama Pangeran Katak, yang gantengnya membuat seluruh bidadari di Kahyangan kalang kabut dan sering tebar pesona lewat pelangi dan senja. Entah karena sering digoda atau memang dari sononya suka yang semlohai-semlohai, Pangeran Katak kesengsem berat dengan para bidadari. Ia pun membagi cintanya, alias selingkuh. Ia kencani para bidadari se-Kahyangan.
Bahkan, Pangeran Katak kecanduan bermain asmara.
Perempuan-perempuan molek nan belia di wilayah kekuasaan Ratu Madu, ia embat
juga. Karena kegemarannya merenggut daun muda, ia dijuluki dengan Pangeran
Pecinta Hijau. Karib disingkat menjadi Pangeran Katak Hijau.
Kasak-kusuk itu sampai ke telinga Ratu. Ratu Madu pun marah besar. Ia lalu memberi maklumat kepada seluruh rakyatnya:
Kasak-kusuk itu sampai ke telinga Ratu. Ratu Madu pun marah besar. Ia lalu memberi maklumat kepada seluruh rakyatnya:
“Siapapun yang bersalah di negeri ini harus dihukum. Tak
pandang bulu. Pangeran Katak, alias Pangeran Penyuka Hijau, alias Pangeran
Katak Hijau harus dihukum karena telah berkhianat dari kepercayaan. Ia harus
diasingkan ke nusa tanpa penghuni. Mulai kini, nama hijau dihapus dari negeri
ini. Siapa yang berkata hijau harus dihukum, bahkan kalau perlu diasingkan seperti
Pangeran Bermata Hijau, alias Pangeran Katak Hijau.”
Meski terdengar rancu, rakyat negeri Madu tak berani
membantah maklumat itu. Segera setelah itu, nama warna hijau terhapus dari
negeri Maduratna. Sebagai gantinya, mereka menyebut warna hijau dengan biru
daun. Konon, hingga kini, sisa-sisa rakyat Ratu Madu pun menyebut hijau dengan
biru daun. Laut dan langit pun mendapatkan getahnya, karena mereka menyebut
warna keduanya dengan biru laut dan biru langit, dan tidak cukup dengan biru
saja. Konon, sisa-sisa negeri Maduratna itu masih ada, dan orang-orang kini
biasa menyebutnya dengan nusa Madura.
Setelah diselidiki lebih jauh ke beberapa literatur kuno dan
tradisi lisan, ternyata kisah ini hanya isapan jempol belaka. Bagi Anda pembaca
yang terlanjur mengunyah ceritanya, shahibul hikayat minta maaf
sebesar-besarnya. Shahibul hikayat mohon agar hikayat ini jangan ditelan
mentah-mentah, apalagi sampai tersangkut di tenggorokan. Soalnya, tak ada
dokter yang bisa mengobati penyakit ‘kleleken cerita’.
Mengenai
warna hijau, sebenarnya ada kata dalam bahasa Madura yang bermakna
"hijau", yakni "éju"; namun penggunaanya sangat terbatas. Cuma,
kata 'ejhu', yang saya duga hasil serapan dari 'ijo, masih digunakan di Madura
untuk beberapa nama, seperti 'nyior ejhu' (kelapa hijau), 'cang eju' (kacang
hijau), dll. Barangkali, krn limitted using-nya ini, kata
"éju" menjadi jarang dipakai dan otomatis jarang pula diketahui.
Madura... lebih lengkap lagi
0 komentar:
Posting Komentar