Sebuah analisis cerpen "Kadis" karya Mohammad Diponegoro yang dilakukan oleh Tirto Suwondo, dari beberapa sudut pandang. Ada sudut pandang religius, sosial, perbandingan, estetic dan lain-lain. Bagaimana hasil analisisnya. Silahkan baca dengan seksama. Selamat membaca.
Jika kita mau membuka dan membaca
Kitab Suci Alquran, kita pasti akan menjumpai sebuah ayat yang berbunyi:
“orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan senantiasa mendapatkan pahala
yang terus-menerus (falahun ajrun ghairu mamnun)’. Ayat ini boleh jadi,
dapatlah kita tafsirkan sebagai janji Tuhan (Allah) kepada umat manusia. Agar
kita senantiasa berada dalam lindungan dan selalu dilimpahi rahmat-Nya, kita
harus menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mengerjakan apa yang
dianjurkan untuk dikerjakan. Itulah sebabnya, sebagai makhluk Tuhan, kita
diwajibkan untuk melaksanakan apa yang telah tertuang dalam Rukun Iman dan
Rukun Islam.
Namun, sebagai makhluk yang selalu
diliputi oleh kekurangan dan kelebihan kita sering salah menafsirkan janji
Tuhan seperti yang tersirat dalam ayat itu. Baru saja kita rajin beribadah,
sembahyang dan puasa misalnya, sering kita sudah merasa pasti bahwa kelak akan
mendapatkan pahala melimpah dari Tuhan dan juga masuk surga. Padahal, apa yang
kita lakukan itu belum cukup, karena belum mencerminkan adanya suatu harmoni,
suatu keseimbangan. Sedangkan ayat Tuhan tadi mengisyaratkan atau mengharuskan
kita agar kita senantiasa berada dalam titik keseimbangan. Sebagai
contoh kongkret, kita harus menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat,
kepentingan saat ini dan nanti, kepentingan hidup dan mati, dan seterusnya. Di
sinilah kita sering melakukan kesalahan karena salah menafsirkan ayat Tuhan di
atas.
Kesalahan serupa itulah yang juga
melanda tokoh Kadir dalam cerpen “Kadis” karya Mohammad Diponegoro. Di
satu sisi, apa yang dilakukan Kadis sehari-hari memang tidak salah, bahkan
dianjurkan, yaitu rajin beribadah, sembahyang, mengaji, menghadiri pengajian,
fasih mengucapkan ayat-ayat Alquran, selalu bersilaturahmi, dan sebagainya. Namun,
di sisi lain, Kadis telah melakukan kesalahan besar, karena telah melupakan
kewajibannya sebagai seorang kepala rumah tangga (suami) yang harus bekerja
keras mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Memang selama berumah tangga
Kadis selalu bisa mencukupi kebutuhan keluarga –walaupun pas-pasan--, tetapi
hanya caranya saja yang tidak pada tempatnya: selalu menghadiri pengajian dan
bersilaturahmi tetapi itu semua hanya sebagai kedok untuk minta-minta.
Kesalahan
Kadis dalam cerpen itu agaknya bukanlah tanpa sebab. Sebabnya ialah karena ia
–selain tak berpendirikan sehingga ia merasa tidak memiliki keterampilan
apa-apa—salah menafsirkan sepotong kalimat yang pernah diajarkan oleh Kiai
Dofir. Dalam suatu pengajian, Kiai Dofir memang pernah mengatakan bahwa
“silaturahmi ialah salah satu kunci rejeki”. Dan sepotong kalimat itu rupanya
telah membius keyakinan Kadis sehingga ia tidak berniat untuk bekerja mencari
nafkah. Sebab, sebagaimana telah ia buktikan berkali-kali, dirinya merasa bahwa
kebutuhannya bisa tercukupi hanya dengan cara bersilaturahmi. Padahal, kita
tahu bahwa sepotong kalimat Kiai Dofir itu seharusnya tidak ditafsirkan
demikian, tetapi harus ditafsirkan sebagai sebuah sikap atau interaksi sosial
yang harus dipertahankan. Hanya dengan penafsiran seperti itulah harmoni bisa
terjadi, keseimbangan bisa tercipta.
Melalui karya fiksi yang bertema
sosial-religius ini, narator (pengarang?) agaknya menghendaki agar pembaca
(kita) tergugah kesadarannya seperti kesadaran Kadis di bagian sebelum paragraf
terakhir cerpen. Kutipan dialog Kiai Dofir dan Kadis berikur inilah yang
mengungkapkan kesadaran itu.
“Mulai sekarang, Kadis,” ... “kau
aku larang untuk mengaji di sini. Juga kau kularang ngaji di tempat Kiai Humam
atau Kiai Sobron.”
“Tapi apa salah saya, Kiai? ....
“Karena kau tidak belajar apa-apa
dari pengajian itu!” ... “Kau pergi mengaji hanya untuk alasan, untuk dalih yang dicari-cari,
supaya kau tidak usah bekerja untuk memberi nafkah pada anak istrimu.”
“Tapi, Kiai, selama ini saya selalu
memberi nafkah ...”
“Ya, memang kau memberi nafkah,” ...
“tapi nafkah itu kau dapat dari hasil meminta-minta pada orang lain. Betul
tidak, Kadis?”
Kadis mengangguk.
“Nah, aku tidak pernah mengajarkan
begitu kepadamu,” ... “Kau tahu, Kadis, nafkah yang kau dapat dari keringatmu
sendiri, meskipun kecil, lebih besar nilai dan pahalanya dari hasil
meminta-minta. Mengerti?”
“Mengerti, Kiai,” suara Kadis sudah
sangat lembek kedengarannya ... dan menangis terguguk.
Setelah
menyadari kekeliruannya, Kadis akhirnya berubah menjadi seorang pekerja keras,
yaitu menjadi tukang menyembelih ternak di pembantaian. Dengan munculnya
kesadaran itu, berarti Kadis boleh dikata telah mampu menempatkan dirinya pada
titik keseimbangan: selain rajin beribadah, juga rajin bekerja. Ada suatu
harmoni antara kepentingan dunia dan akhirat.
Begitulah inti, isi, dan pesan utama
cerpen “Kadis”, cerpen yang menjadi pemenang pertama dalam sayembara mengarang
cerpen majalah Kartini tahun 1980. Membaca cerpen ini, kita kemudian
ingat pada cerpen “Robohnya Surau Kami” (1955) karangan A.A. Navis. Di sisi
tertentu, “Kadis” dan “Robohnya Surau kami” memiliki kesamaan, yaitu dalam hal
tema dan amanatnya. Hanya bedanya, “Kadis” diakhiri dengan kesadaran tokoh yang
membuat pembaca senang karena terpuasi keinginannya; sedangkan “Robohnya Surau
Kami” diakhiri dengan kematian (bunuh diri) tokoh, Kakek Garin, seorang penjaga
surau yang taat beribadah, akibatnya terpengaruh oleh cerita Ajo Sidi.
Dilihat dari sisi struktur dan cara
penceritaannya, boleh jadi cerpen “Kadis” sangat konvensional. Bahasanya
mengalir sederhana dan mudah dipahami, tanpa psikologi yang dakik-dakik, dan
agaknya mudah pula dinikmati oleh semua kalangan. Hal ini barangkali wajar
karena memang semula cerpen “Kadis” ditulis untuk (sayembara) majalah wanita
Kartini. Dan kita tahu, majalah Kartini adalah majalah populer untuk konsumsi
kelurga yang cenderung menyajikan hal-hal yang ringan dan menyegarkan. Kendati
demikian, cerpen “Kadis” tidak kehilangan nuansa sastranya; dan hal ini membuktikan
bahwa pengarangnya. Mohammad Diponegoro, sungguh pintar bercerita. Di dalamnya
tidak ada unsur “berkhotbah” dan “menggurui” meskipun pembaca banyak memperoleh
pelajaran darinya.
Hanya saja, cerpen yang dikisahkan
dengan sudut pandang orang ketiga ini –narator berada di luar kisah, tidak
terlibat dalam peristiwa cerita, tetapi mampu melihat dan menceritakan apa saja
yang dilakukan oleh Kadis, Dalijah, dan Kiai Dofir—mudah ditebak bagaimana
akhir ceritanya. Dan ini menjadi salah satu ciri bahwa cerita semacam itu
kehilangan estetika, karena kita (pembaca) tidak disodori oleh berbagai
pertanyaan yang harus dicarikan jawabnya secara terus-menerus. Jadi, di sini suspense
dan foreshadowing-nya tidak begitu tampak.
Namun, ada satu hal yang menarik,
yaitu ketika kita sampai pada kisah kepergian Kadis naik sepeda menuju ke rumah
Kiai Dofir. Di sana muncul semacam gerak balik (black tracking), melalui
pikiran masa lalu Kadis, dan gerak balik ini berfungsi menegaskan perilaku
Kadis sebagai orang yang sangat percaya bahwa Tuhan akan senantiasa menyodorkan
rejeki kepadanya tanpa diminta. Perilaku demikian inilah yang kelak menegaskan
pula identitas Kadis sebagai orang yang ditempatkan dalam posisi “salah” oleh
narator. dan narator memang berkehendak demikian, yaitu agar Kadis, dan juga
kita semua (pembaca), menyadari kesalaha yang pada gilirannya diharapkan mampu
menempatkan diri pada titik harmoni: selain taat beribadah, kita harus
juga kerja keras. Lebih jelasnya kita harus menyeimbangkan antara kepentingan duniawi
dan akhirati.
Satu hal lagi, cerpen ini mungkin
akan lebih menarik dan menantang jika tidak ditutup dengan kisah keberhasilan
Kadis seperti pada para paragraf terakhir itu. Atau, barangkali akan lebih pas
jika paragraf terakhir itu dihilangkan. Mengapa? Karena dengan cara demikian
pembaca diberi kesempatan untuk berpikir, menentukan alternatif
sendiri-sendiri, dan berusaha menjaci jawaban secara terus-menerus. Apakah
kelak jawaban itu akan diperoleh? Biarkanlah pembacara merenung dan mencari
jawaban itu di dalam dirinya. ***
Sumber: http://suwondotirto.blogspot.com/2013/08/cerpen-kadis-mohammad-diponegoro.html
0 komentar:
Posting Komentar