Sebuah catatan Raudal Tanjung Banua saat Bertandang ke Madura, banyak keunikan yang ditemukan di Madura, di sini yang akan orang-orang luar Madura temukan jika bermain ke Madura. Simakan perjalan Raudal Tanjung Banua dalam perjalan mendiskusikan puisinya di beberapa tempat di Madura.
Tanpa bermaksud menggeneralisasi streotipe orang Madura sebagai salah satu sumber "joke nasional", beginilah beberapa pengalaman yang saya alami ketika berkunjung ke sana beberapa waktu lalu:
PADAMNYA API DEPPEN
“Semboyan kota Pamekasan ini 'Api tak Kunjung Padam', Mas, karena kami punya api abadi di Desa Larangan,” kata seorang panitia diskusi ABATA di Pamekasan, bersemangat.
“Tapi api itu pernah padam saat Gus Dur jadi presiden,” kata saya.
“Tidak pernah, Mas. Sampeyan ini.”
“Pernah,” ulang saya.
"Kapan ya, saya belum pernah dengar."
”Saat Deppen dibubarkan,” jawab saya kalem.
ALHAMDULILLAH, NDAK ADA
Tak lama setelah tiba di Pamekasan, kami pergi ke toko swalayan di timur alun-alun mau membeli sikat botol untuk membersihkan dot bayi. Kami tanya,”Ada sikat merk Cussons, Mas?” Si pelayan, seorang anak muda yang berkopiah, menjawab,”O, merk kusen? Alhamdulillah, Mbak, ndak ada!”
JARAK DUA PONDOK
“Berapa jauh jarak pondok Faizi (maksudnya Annuqoyah) dengan pondok Jamal (maksudnya Nurul Yaqin)?” tanya seorang kawan di Yogya, ketika saya baru datang dari Madura.
Saya jawab,”Dekat. Hanya dipisahkan rumah Kyai Urat.”
JAMAL & SBSB
Di PP Nurul Yaqin, Lenteng, seorang bu guru mengemukakan isi hatinya akan pentingnya pengajaran sastra di pondok pesantren. Ia senang ada diskusi dan kunjungan penulis sebab bisa meningkatkan motivasi menulis para santri dan guru. Ia berharap ada kunjungan rutin seperti itu, jika perlu seperti program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) yang pernah ditaja Majalah Horison. "Kami ingin ada SBSB di sini," katanya.
Setelah merespon dengan beberapa cerita, saya berkata,”Jadi, Bu, keinginan ibu saya tampung, dan akan saya sampaikan kepada Bapak Jamal D. Rahman, salah seorang penggagas SBSB.” Terdengar celutukan dari seorang santri,”Kalau begitu kita juga bisa telepon, Pak.” Tentu saja, karena Jamal D. Rahman adalah salah seorang pengurus PP Nurul Yaqin dan bu guru yang bertanya tadi tidak lain adik ipar Mas Jamal. Lha, iya, kok tadi curhat ke saya ya, hehehe...
KASUR PASIR
Masyarakat Legung, Tang-Batang, memiliki kebiasaan unik. Mereka memiliki kasur pasir di kamarnya masing-masing. Benar-benar pasir yang ditumpahkan di kamar, tanpa perlu dialas, di sana mereka tidur. Iseng-iseng saya bertanya kepada seorang warga yang sudah agak akrab dengan saya,”Pernah ndak orang desa lain menganggap aneh orang sini, Pak?”
“Lha, tidak pernah. Sampeyan ini. Kami malah yang menganggap aneh mereka. Ada barang empuk kok ndak ditiduri.”
Diam-diam saya teringat puisi Pak Zawawi, “Bantalku ombak selimutku angin.” Nah, jangankan pasir, ombak dan angin pun bisa.
0 komentar:
Posting Komentar