Langit pucat. Anak-anak ombak merangsekmenghantam buritan. Kilatan mercusuar menerpa ujung tiang penyangga layar. Drigen,
pelampung, dayung terpelantingmengapung tergerus arus hingga tak
tertangkap pandang. Angin. Jaring, rinjingtempat ikan kering berhamburan
tersangkut ujung galah yang terpancang di tepipelabuhan.
Peralatan-peralatan perahu, lapuk dimakan usia, terendam laut
takberpengharapan. Anyir ikan panggang kering dalam rinjing menyeruak.
Dengunglalat mengerubungi karung. “Berangkat.” Bruddin memberi isyarat.
“Mesti Berangkat.” Cah.
“Jib. Lihatlah.” Bruddin menunjuk kelebatan cahaya putihkebiruan dari
arah barat daya. Persis di ujung tiang penyanggah layar, cahayaitu
menjadi serpihan, seperti kunang-kunang. Pintalan anak-anak ombak,
buihyang membuncah. Dan, seketika itu juga, lelaki itu berdecak.”Aneh.
Yang inibeda, Jib.”
Bibir Tanjib gemetar.
“Seperti
kepak sayap Malaikat, Jib?”Tanjib menggeleng. “Atau. Jangan-jangan. Oh.
Jangan-jangan, Nabi Khidir, Jib?”Bruddin melangkah ragu. “Siapa itu
Malaikat pembawa rizki, Jib?” tanyanya penasaran.
Sebotol
air berisi aneka kembangmenggenang, sebungkus beras kuning dalam
kantong putih dari Kiai Munajiterselip di antara tumpukan barang-barang
pesanan. Kilatan cahaya dari ujunglaut itu, gelegar guntur dan kilatan
petir yang membentur teratak warungpenjual minuman, nasi sekaligus
tempat berteduh dengan ditemani sungging senyumlicik sundal bagi pelaut
yang kelewat penat setelah berhari-hari menitijembatan impian dan maut
yang sewaktu-waktu menelikung ke ujung pengharapan: “Akan banyak
rintangan, Din!” Bruddinmengulang kata-kata Kiai Munaji tadi siang.
“Apa taksebaiknya kita istirahat di warung itu, Kak?” Tanjib menawarkan gagasan.“Maksudku, sampai keadaan normal.” imbuhnya ragu.
“Begitu?”Bruddin
berucap sengit. “dasar tidak pernah minum air garam!” kilatan
cahayamercusuar, juga petir silih berganti, menerpa ujung tiang perahu
berayun dialunombak yang tak putus-putusmembentur buritan dan
menimbulkan suara dentaman. Angin, yang menderu kencangke arah laut,
mematahkan satu dua tiga batang bambu penggulung layar perahu.“Musti
sampai.” gumamnya. Tatapan mata tajam menerawang mengikuti gerak
cahayamercusuar. Belasan perahu yang tertambat di tepian tampak berayun
pelan sepertibayi-bayi dalam buaian.
“Tapi,”
“Sudahlah. Tidak ada kata pi-tapi. Tidak ingin aku mendengar.Titik!” Bruddin memotong. Beranjak ke tepi pelabuhan.
Tanjib
diam-diam memandang kesal. Dandiam-diam menyelinap ke sisi
perahu-perahu yang terkapar sepanjang pelabuhan,bagai bertengadah
pasrah, berjejer seurut laut. Persis di belagang perahu duatiga warung
menawarkan aroma lain dari asin garam yang kelewat menyengat.
Bruddin
tak sedikit pun terusik saatseorang perempuan melintas persis di
depannya. Sebaliknya, dalam situasi cuacayang tak menetu, hemuruh ombak,
buncahan buih, petir tak membuat semangatnyasusut untuk segera
meninggalkan pelabuhan Kalianget. Diam-diam ia membuatperhitungan, kapan
perahunya mesti meninggalkan pelabuhan.
“Cuaca akan tenang menjelang pagi.” kataBruddin.
Dari
arah barat laut gumpalan kabut,semakin tebal. Buncahan buih membentur
buritan perahu menimbulkangelembung-gelembung putih dalam pekat malam
yang semakin mengelam. Hempasanombak, buih yang membuncah juga angin
yang mendesah-desah itu membuatnyasemakin tertantang, sekaligus
membuatnya yakin bahwa apa yang disampaikan KiaiMunaji tadi siang saat
dirinya minta aji-aji agar lancar riski mengalir tanpaharus bersusah
payah, berhari-hari di tengah laut menunggu barang muatanpesanan dari
haji Gemuk.
Aneka
rupa kembang, dupa, dan beraskuning yang masih terselip di sela-sela
barang pesanan membuatnya tak patahsemangat menempuh perjalanan hingga
tiba di Masalembu, besok pagi, aneka rupakembang, beras kuning yang
sudah diisi pangserep[1]dapat
dileburkan di atas geladak, jala, mesin dan anjungan hingga
setiapjuragan akan berpaling dari perahu-perahu lain yang sama-sama
menunggutumpangan dan pesanan untuk mengangkut barang-barang. Mereka,
juragan-juraganitu dapat dipastikan akan terus meminta jasanya, dan
tentu saja, mereka siapmenunggu giliran hingga perahunya tiba dari
mengantar pesanan juragan yanglain.
Itulah
sebabnya, Bruddin harus sampai dipelabuhan Masalembu pagi-pagi, sebab
menurut Kiai Munaji, begitu ia tiba disana, saat perahunya ditambatkan,
segala aneka rupa kembang, beras kuning, dandupa itu mesti segera
dilulurkan pada perahu miliknya.
“Saat pagi itulah, waktu paling tepat.Itu syarat. Harus kamu lakukan. Karena riskiakan berjalan, beranjak seiring dengan gerak matahari yang semakin meninggi.”
Sesaat
kemudian, dekat sebuah sampankecil yang teronggok di bibir pelabuhan,
ia biarkan sepasang kakinya dijilatanak-anak ombak yang menepi.
Perlahan, satu-dua bintang mulai terlihat meskikadang tersaput kabut
yang terus berarak. Angin. Sepasang mata dan rautnyamulai tenang,
tubuhnya berbau asin garam. Sebatang rokok terselip di ujung
bibirnya.Ada letupan-letupan api kecil memercik. Gurat-gurat, garis
tegas wajanyamemancarkan suatu kekuatan, kegembiraan yang barangkali
tidak terbendung.
Bruddin
tak henti-henti menggumamkankeampuhan Kiai Munaji, yang tadi siang
dikunjungi; “Anak saya ingin jugasekolah ke kota. Tolonglah, Kiai.”
Entah
apa yang terbesit pada lelaki yangtelah bertahun-tahun menjalankan
perahu milik juragan Gemuk ini, mendadakBruddin tak mau kalah. Suatu
permohonan telah ia sampaikan, keinginanmendapatkan banyak uang tanpa
harus bersusah payah. Angin terus mendesing,bagai letupan peluru
melesat, menusuk jantung kelam seorang pelaut.
Kiai
Munaji, nama ini sungguh tidak asingbagi pelaut, meski sebenarnya tidak
memiliki santri. Namun orang-orangmemanggilnya Kiai lantaran
keampuhannya menangani suatu masalah, melayanisetiap pelaut yang datang
dan menginginkan doanya agar riski selalu lancarmengalir. Sebagaimana
juga juragan Gemuk, yang setiap Kamis sore bertandang.Pulang dengan
membawa sebotol air berisi kembang aneka rupa, beras kuning.
Bruddin
mengulum senyum. Lagi,dikeluarkannya bungkusan kecil dari saku
celananya. Dipandangnya lekat-lekatisi bungkusan: tujuh jarum,
butir-butir beras kuning, kembang aneka rupa jugadupa yang menyeruakkan
bau sengak. Ia berdecak, tertawa, dan sekaligus mengutuklaut, cuaca,
buncahan buih dan ombak hingga membuat perahunya oleng. Tetapi taklama
kemudian, kecemasan kembali mendera saat terbesit syarat yang
mestidipenuhi agar bungkusan itu tak dibuka sebelum tiba waktunya;
“bukalah saathari langsir,” begitu Kiai Munaji tadi siang berpesan.
Bruddin.
Ah, alangkah gegabah tokoh satuini. Tiga kali sudah bungkusan itu ia
intip, dan ia akan segera berpaling saat teringat pesan KiaiMunaji,
bahwa godaan paling besar yang harus dilawan adalah
keinginan,lebih-lebih melenyapkan rasa penasaran untuk mengatahui isi
dari bungkusan yangkini ada di tangannya.
“Laut mulai tenang, Jib.” kata Bruddin.“Masih ada waktu satu jam. Mau nyennok.”Bruddin berucap lebih ramah.
***
Tak
jauh dari pelabuhan seorang perempuanmenggerak-gerakkan pergelangan
lalu merebahkan telapak tangannya pada lututyang disilangkan. Sesekali
memutar-mutar tumitnya yang lancip. Desah lirihmenguap dari bibirnya.
Dipandanginya laut, Tanjib yang berjalan gontai.Seringai senyum
terkulum. Dengan tatapan nyalang perempuan itu membelairambutnya, dan
kemudian bersiul, berkidung.
Di
bagian lain Pelabuhan Kalianget:sebuah kapal tua teronggok kaku seakan
menerima pasrah setiap buncahan buihmenghantam badan kapal. Dari
anjungan kapal serentang tampar terikat padajangkar yang setengah
terkubur. Warna catnya kusam mengelupas. Tak jauh darikapal, samping
pelabuhan, dua-tiga warung membingkai laut yang kelabu,perahu-perahu
pengangkut barang berayun dialun angin, bagai seorang bayi
dalamgendongan ibunya.
Dengan
berselempang sarung Tanjib segeramasuk ke dalam warung yang remang.
Seorang perempuan menyambutnya dengansenyum. Sebatang rokok terselip di
antara jari dan cincin berwarna kuningpucat. Suara transistor radio
bergemerisik. Perempuan itu berlenggang. Angindari arah laut
mendesah-desah bagai meninti mimpi Tanjib, seorang pemudakampung yang
baru sekali itu turut melaut.
“Baru
sekali melaut?” perempuan itu meletakkantangannya persis di atas paha
Tanjib, sontak ia mengilak, menggeser pantatnyahingga ke ujung lincak.
Seekor tikus menyelinap ke sudut, kemudian menghilangke balik rentangan
sarung pembatas antara tempati ia melayani pembeli nasi, dantempat
istirahat barang sekejab, juga tempat ia menggiring pelaut berenangdalam
lautan hasrat.
Perempuan
itu menawarkan handuk abu-abu.Tanjib menatap ragu. Seekor cicak
menyelinap ke balik jam dinding berdebu yangtergantung persis di samping
kalender bertuliskan kaligrafi. “Dia memang keraskepala.” kata
perempuan itu dari balik rentangan sarung pembatas antara ruangmakan dan
ruang tidur.
***
Waktu
memasuki sepertiga malam palingawal. Bruddin mulai bersiap-siap.
Sementara Tanjib tak kunjung keluar dariwarung. Dari arah barat laut
gumpalan kabut berarak, semakin tebal, danmendadak angin seperti
berdesakan mengahantam badan perahu. Ombak gemuruh, lautpun pasang.
Setengah mengutuk Bruddin, memanggil Tanjib, yang sedari tadi
sudahmenyelinap ke warung. Barangkali melepas lelah. Atau mungkin tengah
terengah menyelamilautan hasrat. Namun guruh angin, buncahan buih
membuat teriakan Bruddin takterdengar.
Di
tepi pelabuhan, Bruddin mondar-mandir,mencari cara untuk sampai ke
perahunya. Untuk berenang besar kemungkinan tidakakan sampai, laut yang
semakin pasang membuatnya harus berhati-hati. Lalu,minyak dalam drigen pesanan juraganhaji Gemuk ditumpahkan ke luat, “satu drigencukup
untuk pelampung berenang.” bisiknya. Dan sementara barang-barang
pesananlainnya ia biarkan tetap teronggok di tepi pelabuhan. Yang
terpenting, ia segera tiba di Masalembu, lalu akankembali mengambil
barang pesanan-pesanan itu. “Tanjib alasan paling tepat.”Tersenyum.
“barang pesanan belum datang. Tanjib menunggu.”
Setelah cukup yakin, ia segera menyelam,berenang tubuhnya mengapung menuju perahunya yang berayun dalam alunan ombak.
Bruddin
terus berenang melawan arus.Langit semakin pekat, gugusan bintang
kembali terhalau, kabut. Kilatan cahayamercusuar terlihat samar. Dan
ketika Bruddin mendekati perahunya, mendadakhujan mengguyur, angin
semakin kencang.
Namun
kepalang, nasib berujung malang,ombak yang semakin pasang membuat
perahunya oleng, dan mendadak tali jangkarterputus. Sontak perahunya
tergerus arus menajauhi pelabuhan Kalianget.Berkali-kali ia berusaha
melepas ikatan tali layar dari galah penggulung, danselalu gagal, saat
itu juga, setelah ujung galah berhasil pegang mendadak anginmenghantam
dan galah itu mengenai kepalanya hingga ia jatuh terhuyung, tersurukke
ambin perahu.
***
Laut
kembali tenang ketika waktu memasukisepertiga malam paling akhir. Di
timur, sulur fajar mekar, bau asin garamkembali tercium, seorang
perempuan di dalam warung menyiapkan jualannya. Daridalam tungku, asap
kayu menjelaga. Dari jauh seseorang bersiul dan berkidung.Laut mulai
terang. Orang-orang bergegas menuju pelabuhan.
Secangkir
kopi di atas meja yang hanyadilapisi pelastik bekas mengepulkan asap
menunggu Tanjib yang masih terkapar dibalik rentangan sarung yang
membatasi antara ruangan makan, tempat perempuanberjualan nasi dan
tempat tidur.
Tanjib
terbangun saat tiba-tibaorang-orang berteriak dari kejauhan menuju
pelabuhan. Segera ia menuju tempat barang-barang pesanan
bapaknya,berkarung beras, garam, minyak kelapa. Bruddin, lelaki yang
mengajaknya ikutmelaut tak terlihat. Sejenak Tanjib kembali ke warung.
“Kak Bruddin?”teriaknya.
Perempuan
di dalam warung itu menyahut,“kopimu diminum dulu. Mungkin Kak Bruddin
di warung sebelah.” Tanjib menurut.Asap menguap dari dalam cangkir.
Sesaat ketika ia tengah meniup dan hendakmereguknya, mendadak dari jauh
terdengar lengking pilu meniti tanah pelabuhanKalianget yang mulai
sibuk, di tepi pelabuhan orang-orang menunjuk-nunjuksebuah perahu yang
oleng jauh di sauh.
Semakin
lama orang-orang semakin banyakberdatangan ke pelabuhan. Wajah-wajah
penuh kecemasan, berharap perahu itubukan milik sanak
saudara-kerabatnya. Orang-orang itu semakin bertambah, Tanjippun
penasaran dan segera ia menuju kerumunan. Ia tersintak, tak percaya,
tapitumpukan barang-barang itu membuatnya semakin kalut. “Apakah itu
perahu KakBruddin?” tanyanya ingin memastikan tanpa mengalihkan pandang
padabarang-barang pesanan itu.
“Dari ciri-cirinya, tampaknya perahu itumemang miliknya. Tapi tidak tahu pastinya.” Seseorang menjawab ragu.
Lekas Tanjib ia membongkar tumpukanbarang-barang pesanan: ada sebotol airberisi aneka kembang yang menggenang.
“Kak Bruddin?” Tanjib berdiri, memandangnyalang ke sebuah perahu yang oleng.
Tepi Kali Bedog, 2010
1.Pangserep: ilmu pengasih
2.Nyennok: pelacur
0 komentar:
Posting Komentar