Cerpen Mahwi Air Tawar: Sapeh Sonok


Gemerincing gelang kaki. Kalung kuningan padaleher sepasang sapi sonok yang berdenting-denting. Bau kemenyan dan semerbakkembang menyeruak dari arah barat halaman samping langgar.
Dulakkap khusyuk merapal mantra, sesekalimenaburkan beras kuning pada sabut kelapa, dan, dari sela sabut kelapa itupertil-pertil cahaya kemerahan berpendar seiring lenguhan panjang sepasang sapisonok yang berhias manik-manik. Sekujur tubuh kedua sapi itu dilulur bedakkuning. Mereka berlenggang seiring irama saronen itu: perayaan bagisepasang sapi sonok, sebelum diarak menuju kuburan demi memperoleh restuleluhur agar pesona kecantikan dalam kontes besok siang terus memancar, takkusut disengat matahari.
Ya, sepasang sapi sonok itu, Rattin namanya. Cah,oh, lihatlah: mereka terus berlenggang di bawah temaram cahaya serungking,di dalam lingkaran, berlenggang, dan terus berlenggang. Sesaat kemudian, merekaakan berjingkrak seiring musik yang menghentak rancak. Dan, Rattin akanmelenguh panjang seiring lenggang gemulai.
Dalam tak berdaya, Rattin harus mengalah demikepuasan Santap, pemilik sapi. Santap, berpakaian khas: loreng, celana komprangwarna gelap, terus menghunjamkan pecut rotan pada bagian tubuh Rattin. Santapsemakin sinting, bertindak tak imbang, dan dalam kesakitan Rattin itu pula parapenonton terbahak-bahak. Tepuk tangan yang hingar-bingar bagai tangan-tangankasar menampar wajah Rattin hingga Rattin terhuyung jatuh dan terkapar ditanah.
Namun, Santap, tak peduli, bahkan ketika Labangmenghentikan tiupan saronen-nya saat melihat Rattin jatuh terkapar,Santap segera mendekat dan memerintahkan Labang untuk terus meniup saronenhingga bagi Rattin tak ada waktu melemaskan otot-otot yang kejang agar terusdapat melenggang dan kembali berlenggak meski kaki kelewat sakit menahan perih– sakit akibat pecut yang terus menderanya.
“Tiup saronen, Labang!”
Rattin kembali terhuyung jatuh, rebah ke tanahyang basah oleh air kembang. Para penonton terperangah tak percaya, sebagianberkomentar miring: bahwa Santap pemilik sapi dan kurang merawat Rattin.
Sebenarnya, Santap, pemilik sapi, sedang mengujikekuatan Rattin. Bukankah jauh sebelumnya, ia sudah mempersiapkan segalakebutuhan Rattin? Bertahun-tahun ia memelihara Rattin dengan sepenuh hatijiwa-raga: sepuluh telur ayam kampung, jahe, dan madu adalah santapan wajibRattin. Lebih-lebih mantra pengasih dari Dulakkap tak pernah terlupa. Dengandemikian, Santap yakin setiap ada kontes sapi kecantikan, Rattin akan tampilmemukau, tentu dengan manik-manik, kalung, gelang kaki dan perhiasan lainnyasebagaimana yang dikenakan pada malam ini.
Bahkan, Santap, pemilik sapi, tak pernah lupa,setiap Malam Jumat ia meluluri Rattin bedak kuning dan air kembang agar wangisemerbak menyeruak ketika tiba saat Rattin dikontes. Itu anjuran yang didapatdari Dulakkap, dukun kondang yang bisa membuat wajah sapi buruk rupa sekalipunterlihat cantik hingga tak jarang Dullakkap menjadi rebutan: Madrusin, Martai,Sullam, berebut untuk menjadikan Dulakkap dukun pribadi.
Tapi, Santap tak ingin Rattin diduakan. Maka, takkeberatan ia memanjakan Dulakkap. Setiap kali ia datang, pastilah tidak dengantangan kosong. Minimal, ia akan membawakan Dulakkap sekarung jagung, ikanpindang, berpuluh-puluh buah degan, mainan khusus anak-cucu adalah hal biasayang ia bawa, dan inilah yang tak dilakukan Madrusin, Martai, dan Sullam.
***
Cah, tas, cah, taskatas. Saksikanlahlenggak-lenggok Rattin dalam iringan saronen dan senandung kejung.Rattin, sepasang sapi sonok yang memang terlatih dan dilatih terus ituberlenggang dalam lingkaran orang-orang yang turut serta menyaksikan gemulaitubuh Rattin, tak ubahnya tarian tandak, membuat keluarga besar Santapberdecak kagum. Gemerincing kalung dan gelang kaki serta dan kilauanpernak-pernik saat diterpa cahaya membuat tubuh Rattin semakinmempesona.
Samlohai….
Ataneya cao jai, namen temmo bana nangka.Asareya tao bai, me’ ta’ nemmo cara dika.”
Aduhai…, suara guruh gaduh, sorak-soraisedemikian bingar, tepuk tangan penonton kateplak-kateplok sedemikiankompak.
“Pulanglah…, pulang,” Rattin seakan meratap.
Bebeapa penonton terpana tak percaya. Kasak-kusukmembiak,  membincangkan kesaktianDulakkap dan kecantikan serta keindahan tubuh Rattin dalam gelimang perhiasan.Sesaat hening. Santap menatap berang, menendang pantat Rattin, bersimpuh danperlahan-lahan merebahkan kepalanya ke tanah.
“Kesurupan,” komentar penonton.
“Pasti.”
“Mana Dulakkap?” sambung penonton.
“Kalian tak ingin tidur?” seolah-olah Rattinbertanya, meminta meminta pengertian. “Kenapa kalian memandangiku begitu?”
Santap menghampiri Dulakkap.
“Apakah wajahku cukup buruk?” seakan-akan Rattinbicara, lalu kembali meringkuk. “Pulang, pulanglah kalian. Besok mestibekerja.”
Lenguh Rattin terdengar serak.
“Aneh,” bisik Santap seraya mengamati Rattin dariatas langgar bersama Dulakkap, yang sesekali menaburkan dupa ke atassabut kelapa hingga bau sengak tak sedap celatong menyeruak antara wangikemenyan dan liur berbusa yang meleleh dari mulut Rattin.
“Bagaimana ini?” Santap semakin gelisah.
“Usaplah dengan ini!” kata Dulakkap.
Sebuah selendang merah menyala diberikan padaSantap. Serentak penonton memandangi dua lelaki di atas langgar itu.
“Untuk apa?” Santap bertanya. 
“Sudahlah. Lakukan saja,” jawab Dulakkap.
“Diusap?” bisik Santap.
Sementara, dalam lingkaran penonton, Rattin takberdaya, dan dalam bersimpuh sesekali menjilati lelehan liur yang busa. Aneh,ketika Santap mulai mengusap liur itu, Rattin tiba-tiba berontak danmengibaskan ekor ke arah Santap.
“Tiup saronen!” seru Dulakkap.
Rattin memberotak, terus memberontak, hingga talitemali pada lehernya lepas. Penonton pun panik dan segera mengejar. Di simpangjalan, Rattin berhenti dan menatap para pengejar. Penonton segera membentuklingkaran dalam posisi siap siaga untuk menangkap.
***
Dulakkap mengusap-usap cincin akik berwarna merahmenyala. Saat lengking saronen berhenti, Dulakkap beranjak mendekatiRattin, lalu mengusap-ngusap tubuh Rattin dengan air kembang dan asap dupa. Beraskuning dari mulut Dulakkap adalah bagian dari syarat yang tak boleh dilupakanagar wajah Rattin tetap elok, tak kisut kantuk, agar lulur bedak tak luntursebelum kontes digelar.
“Boleh aku istirahat?” seakan-akan Rattinbertanya.
Dulakkap membasahi wajah Rattin dengan airkembang.
“Istirahat setelah kontes selesai,” bisikDulakkap, seakan paham, sambil menabur beras kuning.
“Aku lelah.”
Rattin menatap Dulakkanp dengan mata sayu serayamelenguh pilu.
Dulakkap menyuruh Santap mengambil telur ayamkampung, jahe dan madu.
***
Malam temaram di kuburan. Lesatan anak-anak apidari sela sabut kelapa berhamburan membubung. Sepasang sapi itu mendengus, lalumendongak dan meratap dengan lenguhan pilu, meski suara saronen terusmengiringi suasana persembahan sesaji bagi leluhur demi memperoleh kemenanganabadi.
“Bantulah anak putu-mu,” bisik Dulakkap.
Rattin mengendus-ngendus. Santap tersenyum sambilmemperhatikan Rattin, yang perlahan-lahan memamah kembang lalu melenguh panjangdengan kepala mendongak.
“Leluhur memberi restu,” kata Dulakkap.
Santap berdecak kagum. Ia mendekat danmengelus-ngelus punggung Rattin, sesekali membetulkan kalung sapi yangberkemeriap dalam terpaan cahaya serungking. Tetapi sesaat berselang, Rattinbangun dan kembali melenguh panjang berulang-ulang hingga membuat Dulakkapgagap dan segera meminta air kembang, kemenyan dan sesajen, lalu menunjukLabang, isyarat agar saronen ditiup.
Seketika itu hingar bingarlah suasana, antaralengking saronen dan lenguh pilu Rattin. Seketika itu juga Rattinmenyerunduk tubuh Santap hingga jatuh terpelanting, kepalanya terbentursebongkah nisan dan darah pun memburai. Dulakkap merapal mantra dengan kalimattak jelas, Labang berhenti meniup saronen. Santap dalam terkaparmendesis dan mengigau.
“Restu leluhur. Restu leluhur. Besok, besok.Untung,” igau Santap.
Dan Rattin, ketika melihat Santap terkapar, segeraberanjak dengan langkah gontai. Sementara Dulakkap, Marfuah, dan Labang sepertimaklum saat melihat Rattin berjalan pelan menuju arah pulang.
“Biarlah ia masuk kandang,” bisik Dulakkap sambilmengelap darah Santap yang masih terkapar. Lalu, kepada para penonton yangberdiri kaku, sekaku batu-batu nisan di bawah temaram serungking:“Kalian, silakan pulang, biarkan kami di sini bersama Santap.”
Para penonton dan pengikut setia Santap tak beranimembantah perintah Dulakkap.
Sementara, dalam keadaan tak berdaya, Santap masihsaja mengigau. Ia bicara sendiri dengan kalimat-kalimat tak jelas, kadang meneriakiistrinya agar segera memberi pakan Rattin, memanggil-manggil orang untuk ikutberpesta di rumahnya, dan terakhir, yang terdengar samar oleh Dulakkap,Marfuah, dan labang, Santap mendesis bengis, meminta orang-orang segeramenyingkir, dan ia menggerakkan tangan ke udara, meminta Labang meniup saronendan meminta Dulakkap membacakan mantra.
“Santap kesurupan,” bisik Dulakkap.
Marfuah, istri Santap, tampak gelisah, sementaraLabang sesekali mengulum senyum tanpa komentar, seolah tahu apa yang akan terjadinanti.
Pagi dini hari, Dulakkap menjadi gelisah.Berkali-kali ia mencoba membangunkan Santap, namun yang dibangunkan hanyamengigau saja, sehingga membuat Dulakkap kesal, seakan keampuhan dan kesaktianyang dimiliknya tak lagi berfungsi. Berkali-kali ia mencoba melakukan lelakumeramal mantra agar Santap segera sadar.
Tiba-tiba Dulakkap teringat Madrusin, pemilik sapisonok saingan Santap. Madrusin datang meminta dirinya terlibat dalam penyiapansapi sonok milik Madrusin. Namun Dulakkap menolak. Madrusin menjadi berang,lalu berani menantang, bahkan bersumpah tak akan membiarkan sapi milik Santapmenang.
“Bukan Madrusin kalau kalah!”
Dulakkap, yang dikenal sebagai dukun paling sakti,tak mau berendah diri. Dengan suara tak kalah lantang ia balik menantang, “Sayasiap jadi muridmu kalau kalah.”
“Baik,” seru Madrusin seraya menoleh, “ucapanmuakan terbukti.”
Demikianlah, ucapan Madrusin itu terus terngianghingga membuat Dulakkap semakin gelisah. Berkali-kali ia pejamkan mata dalamtapa agar mendapat kekuatan lelaku, namun selalu, bayang-bayang Madrusinmembuntutinya. Labang dan Marfuah yang diminta untuk berjaga pun telah tertidurtak jauh dari tubuh Santap yang tak berdaya. Hingga akhirnya, dalamkegelisahan, tiba-tiba Dulakkap mendapat isyarat aneh. Seketika ia memutuskanuntuk pergi ke rumah Santap.
Semakin ia mendekati rumah Santap dan kandangsepasang sapi sonok, Dulakkap semakin percepat langkahnya. Namun, tiba-tiba, didekat kandang sapi, ia mendengar suara kemerisik aneh dari dalam kandang. Tanparagu-ragu Dulakkap menuju kandang. Semakin ia mendekati kandang semakin jelassuara kemerisik itu, disusul dengus nafas, lenguh lemah sapi Santap, yang merintihpedih seolah menahan sakit. Dan ketika Dulakkap membuka bilik pintu kandang,sontak ia terkesiap karena melihat seorang lelaki tengah menjantani Rattin.
“Madrusin!” bentak Dulakkap.
Tepi Kali Bedog 2009

Keterangan
Serungking    :    Petromaks
Lotreng         :    PerlombaanSapi
Saronen        :    Terompet/Saluang
Langgar         :    Surau
Tanda           :    Ronggeng
Putu             :    Cucu
Sapi sonok     : Sering disebut juga “sapi suruk”, yaitu sapi yang diperlobakan dalamkesenian khas Madura. Sapi sonok dihias dengan berbagai pernak-pernik, kemudiansapi berjalan dengan indahnya menyuruk pada semacam pintu (tanpa daun pintu)yang di bawahnya terdapat papan sebagai tempat pijakan kaki depan sapi, dinilaikeindahannya.

Tulisan diatas menyalin dari : rePublik Sastra » Menuju "Mata Blater". Kumpulan Cerpen Mahwi Air Tawar rePublik Sastra http://publiksastra.net/mata-blater-kumpulan-cerpen-mahwi-air-tawar/#ixzz2gA5uEPlG
Harap mencatumkan link sumber aktif

¡Compártelo!

0 komentar:

Buscar

 
SASTRA PERUBAHAN Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger