Salah
satu tekanan yang merendahkan (inferior) terhadap orang Madura adalah
pernyataan bahwa Bahasa Madura tidak mengenal kosa kata yang sepadan dengan
“hijau”. Dalam bahasa ini, hijau ditulis/dilafalkan “bhiru”.
Meskipun
dalam Bahasa Madura ada kosa kata ejuh (ijo), namun umumnya
selalu digandengkan dengan kata yang lain dan membentuk frase, misalnya “nyior
eju” (kelapa [berwarna] hijau), “kacang eju” (kacang ijo), dan sebagainya.
Penggunaannya pun sangat terbatas serta tidak lazim jika digunakan secara mandiri
(eju).
Ada alasan
diajukan: “bhiru” (dibaca tebal dengan “h”) yang dalam Bahasa Madura berarti
hijau tidaklah sama dengan “biru” (dalam Bahasa Indonesia). Secara kebetulan
saja pengucapannya hampir sama tetapi maknanaya berbeda. Hal ini mirip dengan
pengucapan arah mata angin “daya” yang dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan
“arah di antara dua mata angin”, seperti “barat daya” untuk menunjukkan “arah
mata angin antara barat dan selatan”. Kosa kata “daya” ini menjadi berbeda
pengertiannya saat digunakan sebagai ganti dari “daja/dhaja” yang artinya
“utara” sehingga “barat daya” sering ditanggapi sebagai “arah mata angin antara
barat dan utara”. Apakah tidak sebaiknya “arah mata angin antara barat dan
utara” ini tetap ditulis dengan “barat daja” atau “bara’ dhaja” saja daripada
“barat daya”? Entahlah, ini hanya pertanyaan pribadi yang barangkali sudah
pernah didiskusikan di tempat lain, dan barangkali pula, pakar Bahasa Madura
dapat menjelaskannya lebih baik.
Kembali
ke masalah “bhiru”: dengan merujuk pada beberapa contoh, saya beranggapan
sementara, “bhiru” dalam Bahasa Madura, baik ditulis bhiru, biru,
atau bhiruh, memiliki makna ganda: hijau dan biru. Contoh “bhiru”
(dengan arti hijau), antara lain, “bhiru daun” (hijau daun), “bhiru butol”
(hijau seperti botol [kecap/Sprite]); “bhiru” (dengan arti biru), antara
lain, “bhiru langnge’” (biru seperti warna langit), dan seterusnya. (kormeddal)
0 komentar:
Posting Komentar