Sastra Indonesia Mutakhir - Style dalam Puisi
Tentu saja benar kata-kata banyak jalan menuju ke tempat yang ingin kita capai. Argumennya begitu terbentang terang-benderang. Tengah mungkin bukan kanan, atau bukan kiri. Tapi saat kita membelok ke satu arah dan arah itu kiri, atau kita membelok ke satu arah yang lain dan arah itu kanan, maka kita bukanlah di/ke tengah lagi. Tapi sudah menempuh arah ke kanan, atau arah ke kiri. Dan ke mana pun kita itu melangkah, hanyalah urusan membalikkan badan, sedang prinsip dua arah itu akan tetap juga.
Oleh sebab itu mula-mula saya ingin menurunkan sebuah kutipan, pikiran tentang dunia dalam manusia, untuk dijadikan bahan "perenungan" akan cara melihat sastra yang bergerak dari pikiran ke hati - pikiran bahasa ke hati bahasa.
"Untuk memusatkan pikiran kepada satu hal dengan menggunakan doa singkat, mutlak perlulah memelihara perhatian dan membimbingnya ke dalam hati: karena selama pikiran masih di kepala, di mana pikiran-pikiran saling berdesakan, tak ada waktunya untuk memusat kepada satu hal. Tapi manakala perhatian turun ke dalam hati, ditariknya semua daya-kekuatan jiwa dan tubuh ke satu titik di sana. Pemusatan seluruh hidup manusia di sebuah tempat segera tercermin di dalam hati dengan suatu penginderaan khas yang merupakan awal kehangatan masa depan. Penginderaan ini, yang pada mulanya tak jelas, lambat-laun menjadi makin kuat, makin kokoh, makin dalam. Pada mulanya hanya terasa suam-suam kuku, ia kemudiam tumbuh menjadi perasaan hangat dan memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Begitulah maka terjadi pada tingkat-tingkat permulaan perhatian tetap berada di dalam hati dengan kehendak-kehendak, pada waktunya perhatian ini dengan kekuatan semangat melahirkan kehangatan di dalam hati. Kehangatan ini kemudian mempertahankan perhatian dengan tak terlalu bersusah-payah. Karena ini, keduanya saling menunjang satu sama lain, dan tetap tak terpisah karena buyarnya perhatian mengurangi kehangatan, dan berkurangnya kehangatan melemahkan perhatian."
Seolah tak kena mengena petikan di atas ini, yang saya ambil dari bukunya schumacher, Keluar dari kemelut, dengan sastra atau puisi, puisi puisi antologi kampoeng jerami yang mulai saya lebarkan ke sastra indonesia modern.
tapi manakala saya mulai merasakannya dengan cara menghayatinya, menyentuh pokok-pokok inti dari keterangan theophan sang pertapa, yang dikutip oleh penulis buku "kecil itu Indah". Schumacher, sendiri juga menarik, katanya: "adapun pribadi dibedakan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya oleh daya-kekuatan penyadaran-diri yang misterius..."
Kesadaran misterius itu yang memang menggoda oleh rupa-rupa wujudnya. kita tak pernah tahu mengapa ia hinggap di seseorang tapi tidak di orang lain. seolah-olah "sang pertapa" itu berbicara tentang "zikir-diri" bukan tentang bahasa, tapi saat kita mencoba menjenguknya dan mulai membanding-bandingkan, kita lalu tahu bahwa pokok-pokok inti di sana itu memiliki kesamaan yang tak terbedakan lagi dengan isi sastra sebagai ciptaan kreatif. terutama ia bekerja sebagai proses bagaimana "bahasa" itu bekerja di dalam ruang-kesadaran para penyair dan, ia juga bekerja di ruang-kesadaran bahasa itu sendiri.
"pikiran berdesakan", itulah saatnya, penyair yang tengah didatangi oleh dunia luar yang kini ia tatah ke dalam. diksi menjadi istilah tehnis untuk menaklukkan ruang pikiran yang berdesakan. pilihan kata yang kita kerjakan dengan cara, kata kutipan itu, "memusat ke satu hal" adalah, kepalingtepatan yang akan kita pilih saat mencoba memindahkan ke medium "sastra" akan hal-ihwal dunia yang tengah kita hadapi. "hati", "kehangatan", itulah hasilnya, sebuah olahan pikiran yang berdesakan dan telah ditatah, dicarikan bentuk dan kini bahasa mulai, saling menyaput antara pikiran dan perasaan, syarat untuk kehangatan itu.
Kata lain dari "kehangatan" inilah "emosi" dan oleh emosi, maka karya sastra jadi isi yang menarik.
jadi mula-mula lewat perbaikan diri fakta di luar, suatu tehnik, katakanlah mungkin yoga atau zikir itu, sebuah meditasi kini berhasil kita padankan jadi sebuah cara karya seni puisi itu bekerja serta hasil hasilnya, lewat beberapa kode kata kuncinya, misal kehangatan, kepaduan sebagai hasil dari pikiran yang telah menatah dirinya.
Doa dalam Bahasa
"Doa singkat", atau "doa hati" itu, adalah "doa bahasa" yang terjelma dalam "arah sastra" atau ke mana puisi itu mengorientasikan dirinya. dan selalu puisi itu membawakan kekhasan, style, gaya yang dirujukkan kepada penyairnya. gaya orangnya yang kini memantul ke gaya bahasanya. inilah "style and the man" dalam kata kata abrams (the mirror and the lamp), bahwa,
"The theory of art has always harbored doctrines which imply some limited correspondence between the nature of the artist and the nature of his product."
Kami kini bergerak dan gerakan kita ini sudah sampai di tengah, suatu waktu untuk mulai mencobakan antologi ini ke daerah dari sejarah sastra kita yang terus mendorong dirinya dari arah masa lalu sampai ke masa kini. kehadiran bahasa dalam hal ini kehadiran (para) penyairnya, itulah yang bisa kita baca lewat dunia perbandingan, manakala antologi-antologi yang mungkin kuasa memperlihatkan puncak-puncak buku puisi para penyair.
Atau kita itu sedikit bergerak ke belakang lagi, menjenguk belakang dan mulai menimbang-nimbang arah dari waktu yang ada di belakang. waktu adalah merujuk kepada siapa, ke waktu mana, tempat kita berhenti menjenguk ke masa lalu. sedang arah adalah abadi: apa yang dikatakan oleh para penyair, di masa lalu, di masa tengah, serta di masa mutakhir adalah masa kita kini. bahwa bahasa bergerak sebagai sinambung, itu bukanlah aneh, karena diskontinyitas, tak mungkin terjadi karena penyambungan itu hal yang niscaya.
Telah puluhan penyair, yang terhimpun di Antologi Puisi, Kesaksian Kampoeng Jerami - Jurnal Sastratuhan Hudan ini, kita cobakan melihatnya lewat metode melihat dari dalam per satuan puisi. tapi kini sebuah ikatan tematik di antara para penyair indonesia yang hendak kita jadikan titik tolak, sebab penglihatan dalam itu, bukan saja sebuah metode yang paling mungkin untuk meraba "kehangatan doa dari bahasa".
sumber; Jurnal Sastra
Tentu saja benar kata-kata banyak jalan menuju ke tempat yang ingin kita capai. Argumennya begitu terbentang terang-benderang. Tengah mungkin bukan kanan, atau bukan kiri. Tapi saat kita membelok ke satu arah dan arah itu kiri, atau kita membelok ke satu arah yang lain dan arah itu kanan, maka kita bukanlah di/ke tengah lagi. Tapi sudah menempuh arah ke kanan, atau arah ke kiri. Dan ke mana pun kita itu melangkah, hanyalah urusan membalikkan badan, sedang prinsip dua arah itu akan tetap juga.
Oleh sebab itu mula-mula saya ingin menurunkan sebuah kutipan, pikiran tentang dunia dalam manusia, untuk dijadikan bahan "perenungan" akan cara melihat sastra yang bergerak dari pikiran ke hati - pikiran bahasa ke hati bahasa.
"Untuk memusatkan pikiran kepada satu hal dengan menggunakan doa singkat, mutlak perlulah memelihara perhatian dan membimbingnya ke dalam hati: karena selama pikiran masih di kepala, di mana pikiran-pikiran saling berdesakan, tak ada waktunya untuk memusat kepada satu hal. Tapi manakala perhatian turun ke dalam hati, ditariknya semua daya-kekuatan jiwa dan tubuh ke satu titik di sana. Pemusatan seluruh hidup manusia di sebuah tempat segera tercermin di dalam hati dengan suatu penginderaan khas yang merupakan awal kehangatan masa depan. Penginderaan ini, yang pada mulanya tak jelas, lambat-laun menjadi makin kuat, makin kokoh, makin dalam. Pada mulanya hanya terasa suam-suam kuku, ia kemudiam tumbuh menjadi perasaan hangat dan memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Begitulah maka terjadi pada tingkat-tingkat permulaan perhatian tetap berada di dalam hati dengan kehendak-kehendak, pada waktunya perhatian ini dengan kekuatan semangat melahirkan kehangatan di dalam hati. Kehangatan ini kemudian mempertahankan perhatian dengan tak terlalu bersusah-payah. Karena ini, keduanya saling menunjang satu sama lain, dan tetap tak terpisah karena buyarnya perhatian mengurangi kehangatan, dan berkurangnya kehangatan melemahkan perhatian."
Seolah tak kena mengena petikan di atas ini, yang saya ambil dari bukunya schumacher, Keluar dari kemelut, dengan sastra atau puisi, puisi puisi antologi kampoeng jerami yang mulai saya lebarkan ke sastra indonesia modern.
tapi manakala saya mulai merasakannya dengan cara menghayatinya, menyentuh pokok-pokok inti dari keterangan theophan sang pertapa, yang dikutip oleh penulis buku "kecil itu Indah". Schumacher, sendiri juga menarik, katanya: "adapun pribadi dibedakan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya oleh daya-kekuatan penyadaran-diri yang misterius..."
Kesadaran misterius itu yang memang menggoda oleh rupa-rupa wujudnya. kita tak pernah tahu mengapa ia hinggap di seseorang tapi tidak di orang lain. seolah-olah "sang pertapa" itu berbicara tentang "zikir-diri" bukan tentang bahasa, tapi saat kita mencoba menjenguknya dan mulai membanding-bandingkan, kita lalu tahu bahwa pokok-pokok inti di sana itu memiliki kesamaan yang tak terbedakan lagi dengan isi sastra sebagai ciptaan kreatif. terutama ia bekerja sebagai proses bagaimana "bahasa" itu bekerja di dalam ruang-kesadaran para penyair dan, ia juga bekerja di ruang-kesadaran bahasa itu sendiri.
"pikiran berdesakan", itulah saatnya, penyair yang tengah didatangi oleh dunia luar yang kini ia tatah ke dalam. diksi menjadi istilah tehnis untuk menaklukkan ruang pikiran yang berdesakan. pilihan kata yang kita kerjakan dengan cara, kata kutipan itu, "memusat ke satu hal" adalah, kepalingtepatan yang akan kita pilih saat mencoba memindahkan ke medium "sastra" akan hal-ihwal dunia yang tengah kita hadapi. "hati", "kehangatan", itulah hasilnya, sebuah olahan pikiran yang berdesakan dan telah ditatah, dicarikan bentuk dan kini bahasa mulai, saling menyaput antara pikiran dan perasaan, syarat untuk kehangatan itu.
Kata lain dari "kehangatan" inilah "emosi" dan oleh emosi, maka karya sastra jadi isi yang menarik.
jadi mula-mula lewat perbaikan diri fakta di luar, suatu tehnik, katakanlah mungkin yoga atau zikir itu, sebuah meditasi kini berhasil kita padankan jadi sebuah cara karya seni puisi itu bekerja serta hasil hasilnya, lewat beberapa kode kata kuncinya, misal kehangatan, kepaduan sebagai hasil dari pikiran yang telah menatah dirinya.
Doa dalam Bahasa
"Doa singkat", atau "doa hati" itu, adalah "doa bahasa" yang terjelma dalam "arah sastra" atau ke mana puisi itu mengorientasikan dirinya. dan selalu puisi itu membawakan kekhasan, style, gaya yang dirujukkan kepada penyairnya. gaya orangnya yang kini memantul ke gaya bahasanya. inilah "style and the man" dalam kata kata abrams (the mirror and the lamp), bahwa,
"The theory of art has always harbored doctrines which imply some limited correspondence between the nature of the artist and the nature of his product."
Kami kini bergerak dan gerakan kita ini sudah sampai di tengah, suatu waktu untuk mulai mencobakan antologi ini ke daerah dari sejarah sastra kita yang terus mendorong dirinya dari arah masa lalu sampai ke masa kini. kehadiran bahasa dalam hal ini kehadiran (para) penyairnya, itulah yang bisa kita baca lewat dunia perbandingan, manakala antologi-antologi yang mungkin kuasa memperlihatkan puncak-puncak buku puisi para penyair.
Atau kita itu sedikit bergerak ke belakang lagi, menjenguk belakang dan mulai menimbang-nimbang arah dari waktu yang ada di belakang. waktu adalah merujuk kepada siapa, ke waktu mana, tempat kita berhenti menjenguk ke masa lalu. sedang arah adalah abadi: apa yang dikatakan oleh para penyair, di masa lalu, di masa tengah, serta di masa mutakhir adalah masa kita kini. bahwa bahasa bergerak sebagai sinambung, itu bukanlah aneh, karena diskontinyitas, tak mungkin terjadi karena penyambungan itu hal yang niscaya.
Telah puluhan penyair, yang terhimpun di Antologi Puisi, Kesaksian Kampoeng Jerami - Jurnal Sastratuhan Hudan ini, kita cobakan melihatnya lewat metode melihat dari dalam per satuan puisi. tapi kini sebuah ikatan tematik di antara para penyair indonesia yang hendak kita jadikan titik tolak, sebab penglihatan dalam itu, bukan saja sebuah metode yang paling mungkin untuk meraba "kehangatan doa dari bahasa".
sumber; Jurnal Sastra
0 komentar:
Posting Komentar