Pada banyak yang tagu to, kalau kehadiran akhiran "ir" gara-gara Soekarno-Hatta “memproklamirkan” kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka akhiran “ir” seolah menjadi salah
satu khazanah akhiran dalam bahasa Indonesia. Maka, dalam praktik
berbahasa sehari-hari, banyak orang latah dengan sering menyebut kata
“koordinir”, “mengakomodir”, “mempolitisir”, dan sebagainya.
Sialnya, pemakaian akhiran “ir” ini sungguh produktif. Mungkin karena
masyarakat gemar analogi. “Mengkoordinir” pembentukannya dianalogikan
dengan “memproklamirkan”. Padahal, sebenarnya sudah ada padanan akhiran
“ir” dalam bahasa Indonesia, yaitu “isasi”. Namun, nah di sinilah
lucunya, akhiran “sasi” atau “isasi” itu sendiri sebenarnya juga bukan
akhiran asli bahasa Indonesia. Ia merupakan serapan dari akhiran bahasa
asing.
Isasi Bukan Bahasa Indonesia
Jika ditinjau struktur mormofologi kata,
sebenarnya bahasa Indonesia tidak mengenal akhiran -si, -isasi, atau
-sasi. Tumbuh dan berkembangnya akhiran tersebut pada awalnya adalah
sebuah anomali bahasa. Namun, kemudian berkembang menjadi analogi.
Sebagai anomali atau penyimpangan berarti pemakaiannya salah. Namun,
kalau akhiran itu sudah dianggap sebagai akhiran yang benar (oleh ahli
bahasa dan Pusat Bahasa) berarti akhiran “si, -isasi, -sasi” masuk
kategori analogi.
Maka, mulai sekarang, mari mencoba lebih memakai kata
memproklamasikan (bukan memproklamirkan), mengorganisasikan (bukan
mengorganisir), mengoordinasikan (bukan mengkoordinir). Namun, jangan
pula menjadi latah dan menganggap semua kata bisa ditambahi akhiran
-isasi. Hanya kata yang berasal dari kata dasar serapan (diambil dari
bahasa asing) yang bisa dibentuk menjadi kata bentukan dengan akhiran
“-asi” atau “isasi”.
Jadi, upaya memasyarakat tanaman lamtoro gung, ternak lele, dan
program pompa air masuk desa jangan pula kemudian disebut dengan
“lamtoronisasi” atau “lamtoroisasi”, “lelenisasi” atau “lelenisasi”, dan
“pompaisasi” atau “pompanisasi”. Jangan latah dan tetaplah jangan malas
untuk menyebut usaha memasyarakat menanam pohon lamtoro, usaha beternak
lele, dan gerakan pemasangan pompa air. Memang, itu kurang praktis
karena kata berubah menjadi frasa sehingga menjadi jauh lebih panjang.
Namun, berbahasa itu bukan panjang-pendek, tapi soal taat asas.
Kalaupun akhiran -isasi sudah dianggap benar menurut bahasa
Indonesia, tidak selayaknya kita lantas latah memproduksi bentukan kata
dengan akhiran “isasi” secara berlebihan. Sebab, kata yang dibentuk
dengan campur tangan akhiran “isasi” sebenarnya bisa diindonesiakan
dengan tetap ciamik dengan konfiks “peng-an”.
Kata dasar “kader” yang berubah menjadi “kaderisasi” (masih berbau asing) artinya tetap sama dengan peng-kader-an. Karena fonem ‘k’ luluh,
menjadi pengaderan. Bukankah itu juga ciamik dan efisien? Yang perlu
diingat, ada kata dasar berfonem s, p, t, k, yang masih bisa ditoleransi
tidak luluh jika ia masih terasa sebagai kata asing.
Jadi, sebenarnya kita tidak perlu merasa lebih bergengsi memakai kata
bentukan dengan akhiran “isasi”. Dengan begitu, tidak seharusnya kita
baru merasa sebagai kelompok intelektual atau kelompok terpelajar kalau
sudah bisa sering memakai kata yang ada “bau-bau” asingnya.
Sumber ilustrasi: Wikimedia Commons.
0 komentar:
Posting Komentar