SIDANG DI POHON KAMBOJA

Cerpen nominator lomba penulisan cerpen yang diadakan Stain Purwokerto.

SIDANG DI POHON KAMBOJA
karya: Sule Subaweh


Kunang-kunang itulah yang setiap malam menjadi penerang dihamparan sepi, dan nisan-nisan yang berdiri tegap menjadi sebagian dari pemandangan di antara pohon-pohon yang suram. Dari sekian nisan yang terbentang, hanya satu yang begitu keramat dan menjadi tempat mengadu bagi orang-orang yang berkeluh kesah. Pria yang tak lepas dengan peci hitamnya itu seakan telah dikutuk oleh seorang Kiai di tempat dia mondok. Bagaimana tidak, sudah enam bulan lebih dia menjadi penunggu kuburan tua di samping pondoknya itu. Setiap malam dia harus menemani kuburan-kuburan yang terkadang berserakan asap putih, serta tagisan-tangisan kecil di antara semak-semak belukar yang bertumpuk. Apalagi di malam jum’at, bau setangkai kemenyan akan menjadi pengharum di sekelilingnya
dan tidak sedikit yang mengodanya di dalam sunyi yang gelap. Tapi dia sangat mengenal, begitu mengenal sapaan-sapaan mahluk yang mengodannya itu. Baginya ini adalah suatu hukuman yang akan membawanya ke jalan yang lebih baik, ke jalan untuk mengenal diri. Konon katanya laki-laki itu adalah santri yang sering melalaikan kewajibanya sebagai orang muslim, bahkan tidak pernah menghargai makna kehidupannya. Maka dari itu dia ditugaskan untuk menjadi penjaga kuburan, agar dia mengerti bahwa sesungguhnya kematia itu sangatlah dekat dengan kita dan hidup haruslah bermakna. Begitu hal yang dia temukan selama menjadi penjaga kuburan.


Setiap seper tiga malam laki-laki itu berputar mengelilingi kuburan dengan senter di tangan kanannya, di tepian dia akan membuang muka untuk mengamati sekitarnya. Bisakah dia melawan gelapnya malam, sunyinya waktu itu. Bukankah lampu senter yang di bawanya tak mampu menjelaskan arah jalan yang ditempuhnya. Sesekali dia akan membuang muka di tepian yang suram. Sepasang matanya menerawang, membuka pandangan. Jauh memandang? Jauh di tepian dia memandang terlihat seorang gadis dengan baju putih legam berjalan di antara ruas makam. Tidak seperti biasanya ada seseorang yang singgah di malam petang seperti ini. Hatinya yang sunyi sekarang berkata-kata seketikan suasana itu melemahkanya. Seberkas keraguan meruntuhkan pandangannya, sekujur tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dingin dan tubuhnya yang tegab mulai bergetar ketika perempuan itu semakin mendekat. Lebih dekat? Lamat-lamat dia mulai menemukan titik terang, sepertinya begitu tidak asing cara perempuan itu melangkah, dan lambaian tangannya. Untuk apa dia ke sini? Tidak biasanya dia berjalan di malam gulita seperti ini, apalagi dilingkungan kuburan“ untuk apa dia ke sini?” besitnya lagi.

Laki-laki itu mencoba menerjemahkan arah pandangan matanya. Di antara semak belukar dia lepeskan kecurigaannya terhadap perempuan itu. Semakin dekat semakin terbaca langkah kaki perempuan itu di pandangannya ”tapi apa yang ingin dia lakukan di sini?” pikirnya heran. Laki-laki itu tetap saja tidak mengurungkan niatnya untuk membuntutinya. Di bawah pohon kamboja dia hentikan langkahnya. Sementara Perempuan berselendang putih kecoklat-coklatan itu tetap berjalan ke arah makam keramat itu. Tiba-tiba langkahnya terhenti sejenak di depan gerbang makam keramat itu.

“Untuk apa dia ke situ” pikirnya penuh curiga
“Jangan…jangan!?”
“Siapa itu, keluar!” laki-laki itu tercengang mendengar gertakan perempuan itu. Tampaknya mata batinya begitu tanjam, sehingga di antara gelappun masih bisa membaca lagkah kaki laki-laki itu yang dijaga begitu rapi.

“Sa sa sa saya santri, penjaga kuburan” ucapnya lirih, dia terdiam mencairkan getaran yang nampak begitu kencang di dadanya. Apalagi orang yang dicurigainya tersebut begitu sangat dikenalnya.

Hening. Laki-laki itu tak lagi melontarkan perkataannya di hadapan perempuan itu. Sementara perempuan itu tersipuh di depan pintu gerbang pujuk itu sambil membersihkan daun-daun yang berserakan di depannya, sepertinya ada hal yang begitu mengusik kelembutan hantinya sehingga binar matanya yang tajam begitu lemah, sangat lemah. Konon katanya makam tersebut adalah makam kiai Kholil yaitu orang yang menjadi pendiri pertama kali Pesantren di tempat laki-laki itu mondok yang tidak lain adalah orang tua dari kiai yang sekarang membimbingnya.

“Kamu santri kan?”

“Iya nyai” jawab Laki-laki itu lirih. Sarung yang melingkar di tubuhnya seketika dilipat dan matanya yang penuh dengan curiga kini sayu melihat yang di depanya adalah perempuan yang sangat disegani orang banyak. Santri itupun mulai mendekat.

“Aku ingin engkau membacakan do’a di sini”
“Iya nyai” jawabnya sambil melangkahkan kakinya hingga di permukaan makam itu. Lantunan do’a-do’a dilepaskannya seraya senandung sepoi angin yang meniti peluh bercucuran disekujur tubuhnya.

Cahaya rembulan sabit mulai terkikis awan. Malam menghenduskan angin pada ranting-ranting pohon, sementara bintang gemintang melepaskan cahayanya malam itu. selesai berdo’a buk nyai beranjak dari tempat duduknya. Kakinya melangkah ke ujung tempat bertedu kecil yang begitu dikenalnya. Di tepi lincak bambu itu nyai duduk merunduk melepaskan nafas kecilnya. Masih menjadi pertanyaan besar bagi seorang santri itu sehingga dia bertatap muka dengan ibu nyai di kuburan bapak mertuanya itu?

“Kenapa ibu nyai ziarah pada malam buta seperti ini?” Tanya Laki-laki itu heran

“Di malam hari do’a kita akan lebih didengar-Nya” seraya berucap tubuhnya pelan-pelan berbalik ke arah santri itu sambil menatap sekujur tubuhnya dengan seksama. Raup mukanya yang polos begitu lemah seperti sebuah lukisan hatinya yang letih tak berdaya

“Apakah kamu tau, tempat inilah tempat bermain pak Kiai dan bu’ Nyai waktu masih kecil dulu” seru nyai dengan nada riang

Bagai Sai kami berputar-putar mengelilingi kuburan di antara ruas jalan kecil di sekitarnya. Saling kerjar-kejaran, ke sana ke sini, seperti layaknya anak kecil. Jika letih kami bernaung dirindang pohon kamboja putih itu. Nafas kami yang letih akan cepat berlalu ketika aroma ribuah bunga kamboja yang telantar di tanah menjadi obat di antara peluh-pelu kami. Begitu sendu masa silam waktu itu.

Ketika usiaku menginjak dewasa dan pak Kiai sudah menjadi pengganti Almarhu kiai Kholil bapaknya. Dia menghembuskan angin untuk meminangku. Jarak umur kami memang terpaut jauh, lima tahun lebih tua umurnya dari pada aku. Ketika pak Kiai keluar dari Pesantren, aku baru semusim mencari ilmu di Pesantren. Pada saat libur sakban pak Kiai mengajakku bertemu di tempat ini. Ya di antara pohon-pohon kamboja yang rindang, tarian angin yang lembut, dan matahari yang menyala begitu romantis waktu itu.

“Hari yang begitu petang, serasa terang ketika mendengar cerita buk Nyai yang begitu romantis. Dia begitu bersemangat melepas kata-perkata” seperti telur yang sudah saatnya menetas semua terlepas alami.

“Ada apa dengannya, tidak seperti biasanya?” pikirnya heran laki-laki itu, dia masih bertanya-tanya ada rahasia apa di balik ceritanya itu?

“Sore itu” lanjutnya. Kaget laki-laki itu, hingga dia terbagun dari lamunanya

Sore itu, serasa Adam dan Hawa kami di antara nisan-nisan. Duduk menekuk lutut melepas rindu bercampur malu. Akupun pemalu tak seperti biasanya saat itu.

“Aku rindu padamu dek” ucapnya. Aku hanya diam memendam debaran hati yang begitu kencangnya

“Sudah lama rasanya kita tidak bermain di sini” lanjutnya

“ iya” jawabku

“Dek, aku ingin kau menjadi penghuni rumahku yang membuatkan kopi setiap matahari membuka matanya, di mana setiap malam ada engkau di sampingku”

Aku tersipuh malu tapi mau. Senyumlah yang mewakili sengala pertanyaannya. Matalah yang menjawab segalanya. Bunga-bunga harumlah yang mewakili suasana hatiku yang berbunga-bunga waktu itu. Selepas malam lebaran Adha dia menyuntingku.

Apa yang lebih bahagia dari seorang istri Kiai selain menyerahkan siang dan malam baginya. Surgaku adalah keihklasanku padanya dan do’a pada-Nya untuk selalu terlindungi. Ia pun menghargai siang dan malam yang kusuguhkan, tak ada hari tampa senyum selama sepuluh tahun dengannya. Tapi betapa waktu tak bisa di baca. Nasib datang tanpa diundang. Betapa malang waktu akan ku jalani. Pak kiai berpaling dari rangkulanku, dia telah tertarik oleh aroma daun muda. “Mengapa harus menduakan hati yang begitu tulus. Hal yang sangat di benci kaum hawa, kini mendekatiku. Apa sebabnya? Adakah salah atau kurang apa yang kuberikan?

“Apakah salah jika seseorang mempunyai dua istri, nabi Muhammad saja punya istri empat” Tanya laki-laki itu

“Tapi hati hanya satu dan tak dapat dibelah, bagaimana aku bertahan dengan separuh hati yang dia berikan, apa kata orang-orang” perempuan penyabar itu mengelus dada, matanya teteskan hati yang luka “Mengapa harus sakit Nyai?” Tanya lagi laki-laki itu “Karena aku tidak hidup di zaman nabi Muhammad? tegasnya, seraya memandang laki-laki itu dengan segala ketajaman matanya.

Malam hampir selesai, matahari sebentar lagi akan membukakan sinarnya. Tapi cerita bu’ Nyai masih tersisa di dadanya dan belum tertumpahkan segalanya. Mata hatinya tak hanya menangis, tapi juga terbakar asmara, kerlingan embunpun tak mampu meredakan hatinya yang luka. Buk nyai dipaksa harus menerima kenyataan sebagai status istri yang gagal. Kiai telah menemukan kebahagiaan baru dari seorang santri yang begitu merdu suaranya. Ketika ayat-ayat suci Al-Quran dilantunkan perempuan Muda itu dikala sore menyingsing di ufuk barat kiai akan mencari-cari suara yang sangat melemahkan jiwanya itu, dan resahku semakin mendekat ketika Torehan hati pak kiai kini berpaling menatap yang segar membiarkan yang sudah tua jatuh tersungkur seakan tak berharga dipandangnya.

Dari kejauhan sepasang mata melepas curiga, menatap kami dengan tajam, matanya liar mencari mata-mata lainnya.
“He, panggil kiai dan para santri” bisiknya terhadap teman di sebelahnya. Dalam sekejab para santri sudah di depan mata. Buk Nyai kaget ketika mendengar teriakan yang sengat dia kenalnya.

“Hai kalian berdua!” teriak kiai memanggil mereka dari kejauhan. Bagai di jeruji besi para santri mengelilingi mereka.

“Perempuan laknat, terkutuklah engkau wanita hina”

“Kami hanya…”

“Tar…” belum selesai buk nyai menjeskan, lima jarin itu melesap terlebih dahulu di pipi buk Nyai. Pak kiai langsung memfonis mereka tampa memberi kesempatan sedikitpun untuk menjelaskan hal yang sebenarnya. Kiai hanya membaca keadaan di depan matanya, seakan tidak ada yang benar dari pada apa yang telah dilihatnya.

Laki-laki itu terteguh tak berdaya ketika semua mata menaruh curiga terhadapnya. Apa lagi saat ini dia dalam proses menjalani hukuman. Hanya do’a-doa lah yang bisa dia nyayikan dalam hatinya, karena mulutnya seakan terkunci rapat oleh keadaan dia sekarang ini. Sedangkan nyai tak kuasa menahan deras air matanya, hatinya yang luka kini semakin melebar karena tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh para santri dan terlebih kiai juga begitu saja mempercainnya.
“Keluarkan mereka dari tempat ini” dari belakang celetukan itu membawa massa yang semakin mengutuk mereka yang terjebak “Keluarkan mereka”.

Di ujung, matahari mengeliat di antara pohon-pohon kamboja. Embun mulai terkikis oleh cahaya yang berserakan. Keringat mulai lepas seperti air mata yang menetas perih di lesung pipi buk nyai. Tatapan yang tajam itu masih saja merobek-robek mereka yang tak berdaya. Sesekali mereka berdua menatap orang-orang yang menaruh curiga padanya. Sementara ceramah yang terlontar oleh kiai dibuang percuma karena terasa belum cukum mengobati hatinya yang telah luka. Nyai tertekuk pasrah tak lagi berucap sedangkan jiwanya runtuh oleh ketidakadilan yang ada, dan teriknya matahari yang mulai menyengat merobohkan badanya yang tak berdaya.

¡Compártelo!

0 komentar:

Buscar

 
SASTRA PERUBAHAN Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger