"Hermeneutika Puisi "Biji" karya Abdul Wachid B.S." Esai Rio Pamungkas
Esai Rio Pamungkas
BIJI
biji cinta yang dipatuk oleh burung itu terjatuh di sebuah taman
ketika kau aku saling pandang lamalama
setelah pencarian bertahuntahun lewati lembah dan gurun
akhirnya kau aku kejatuhan lagi biji cinta itu
bertemu di sini, di sebuah taman lain
biji cinta itu lekaslekas mengubah dirinya menjadi sebatang pohon yang
disuburkan oleh musim hujan dan
nafas kau aku yang gemuruh
ketika terik matahari pohon itu memberi kesejukan
ketika hujan setidaknya ia tidak menjadikan kau aku lapuk
ketika malam purnama ia memberi ruang bercinta
kau aku lupa siapa pemilik taman ini?
yogyakarta, 29 november 2013
*****
Saya menemukan tarik-ulur waktu dalam puisi ini, seperti kisah Adam Hawa lupa diri karena cinta lantas diturunkan ke bumi untuk bersusah payah karena cinta pula.
Sementara itu, dalam puisi ini mengilustrasikan cinta tersebut dari akibat menuju sebab, mengajak pembaca untuk berpikir dan mencicipi dari sudut terbalik sebuah teguran cinta, yang sesungguhnya terguran itu juga bagian ujian cinta itu sendiri.
Dari biji menjadi sebatang pohon, dari sebatang pohon memberi ruang untuk bercinta, dari pohon itu pastilah kelak kembali biji, tetapi kenapa harus biji terlebih dahulu?
Biji di sini saya lihat bukanlah buah khuldi yang biasanya menjadi objek bahasan dalam kisah Adam Hawa meski di puisi ini tidak disebutkan nama Adam Hawa, tetapi ceritanya mempunyai alur yang akan membawa siapa saja berpikir demikian.
Pada bagian akhir puisi disebut "kau aku lupa siapa pemilik taman ini?". Lebih mirip ketika seseorang mengingatkan saya ketika harus bertatakrama berada di rumah orang, dan sepertinya baris ini mengajak kita untuk sadar diri dan tau sikap sebagai seorang "tamu". Jika diasumsikan taman adalah dunia, maka tamu itu adalah kita sebagai manusia. Dan, kata "lupa" bisa jadi peringatan untuk bersyukur, yang ketika manusia bersyukur, maka ia adalah orang yang tahu diri.
Dan, yang paling menarik di sini sebenarnya kata "Biji". Kenapa "Biji" yang menjadi judul, sedangkan judul biasanya esensi yang membuka makna isi puisi. Biji dalam puisi di sini ternyata tak sekadar biji, dan bukan buah khuldi. Biji di sini ketika dihubungkan dengan cinta, bisa jadi itu adalah sebuah benih cinta. Sesuatu yang awalnya kecil dan belum memiliki makna berarti, tetapi sepasang kekasih menyuburkannya, "/disuburkan oleh musim hujan/ dan nafas kau aku yang gemuruh//" sehingga biji yang seperti titik jika dipandang dari jauh, menjadi sebuah perjalanan awal menjadi pohon yang memberi sejuk kepada sepasang kekasih itu.
Saya masih ingat sajak Abdul wachid B.S. yang berjudul "Pohon Kebangkitan", dan di sana ada baris sajak yang sangat berkesan dan sepertinya memiliki benang merah dengan pohon yang ada di sini, "/aku kau ganti berganti merawatnya sepenuh hati/ hingga pohon menjulang langit tinggi/". Dalam sajak "Pohon Kebangkitan" ini saya juga sempat bertanya kepada penyairnya tentang makna pohon, dan dengan senyum Beliau mengatakan "pohon adalah doa sepasang kekasih itu, pohon yang menjadi jembatan sepasang kekasih itu menuju Tuhannya."
Jadi, "biji" di dalam puisi ini sangat indah juga ketika saya pun merasakan indahnya mengusahakan cinta dari hal kecil, seperti biji. Saya berharap cinta saya kepada "Kekasih" saya, yang jauh dan masih terpisah, bisa menjadi pohon yang kelak kami bisa saling bersyukur hidup berteduh di bawahnya.
Yogyakarta, 29 November 2013
0 komentar:
Posting Komentar