Cerpen Mahwi Air Tawar (Suara Merdeka, 4 September 2011)
PERAHU-perahu terkapar, membujur seurut
laut; bendera merah putih lusuh terpancang miring dekat anjungan.
Terkadang tiang bendera itu bergerak ke kanan ke kiri mendesirkan bau
anyir ikan kering, apek, ngengat. Dengung lalat mengerubungi bagian
geladak penuh bercak, jala kumal, temali jangkar, patahan ranting
bergelantungan pada bentangan bambu penggulung layar.
Sebuah gubuk tanpa sekat menghadap ke laut, beralas
pasir putih, beratap anyaman daun lontar. Di gubuk itulah, setiap hari
orang-orang kampung nelayan tak pernah bosan duduk-duduk, entah untuk
kepentingan apa saja, lebih-lebih bagi nelayan sebelum berangkat maupun
sepulang dari melaut. Biasanya, nelayan yang baru saja datang dan hendak
masuk, berkumpul dengan para nelayan lainnya, akan mengeringkan
tubuhnya, berguling-guling di atas pasir, kemudian setelah cukup kering
barulah ia turut serta dalam percakapan.
Ya, biasanya, mereka yang baru tiba dari melaut akan
bercerita tentang cuaca di tengah laut, ombak, angin, jaring dan hasil
tangkapan ikan yang tak menguntungkan. Jauh dari harapan. “Ah, coma
lima ekor. Bayar solar tak kelar.” Keluhan yang tak pernah jemu mereka
lontarkan dan acap berujung dengan harapan. “Semoga besok pendapatan
dapat melunasi utang tempo hari,” harapnya sembari meletakkan bungkusan
tembakau yang di dalamnya dilapisi kulit jagung kering.
Bagi mereka, gubuk itu tidak hanya menjadi tempat paling
nyaman melepas penat, menikmati silir angin pantai meski amis ikan
kering, bau gundukan berak di sepanjang tepi pantai, sampah atau
mengubur separuh tubuhnya pada pasir, tetapi gubuk itu juga menjadi
tempat pertemuan para nelayan; berurun rembuk perihal acara-acara rokat tasek, tatenggun, ludruk.
Di luar gubuk, sebelah tiang penyangga kiri dan kanan,
istri para nelayan tak mau ketinggalan, bergunjing. Ada yang duduk
bersimpuh, rebahan, posisi tubuh sedikit miring. Ada pula yang duduk
memanjang ke belakang, menisik rambut, mencari kutu.
Tak jauh dari tempat mereka berkumpul, persisnya di tepi
pantai, ada laki-laki dan perempuan duduk berjongkok berjejer menghadap
laut sedang berak sambil bercakap-cakap dengan seseorang di sampingnya
yang juga berak, sementara yang laki-laki menelungkupkan telapak tangan
kirinya pada penisnya sedang yang perempuan cukup melilitkan ujung
sarungnya hingga menyentuh tanah. Anak-anak seusia belasan tahun asyik
bermain. Ada yang saling berkejaran sambil sesekali menceburkan tubuhnya
ke hulu. Salah seorang di antara anak-anak itu adalah Julantip, berikut
ceritanya:
Julantip, sebagaimana juga anak-anak seusianya,
menjelang siang selalu berada di hulu, mencari tiram. Terkadang, dengan
riang menyelam hingga tubuhnya tak tertangkap pandang, bila buih
membuncah ia dengan sigap segera menyelam, berenang, sepasang kakinya
berkelepak hingga menimbulkan kecipak menanggalkan gelembung-gelembung
kecil di permukaan ombak, beberapa saat berselang ia melompat dengan
mata terpejam, dikibaskannya kepalanya ke kanan-ke kiri sembari
mengacungkan kepalan tangan, memperlihatkan tiram yang didapat lalu
melemparnya ke atas sampan.
“Yang dapat paling banyak boleh ikut aku.” Julantip menantang teman-temannya.
“Dua puluh?” teriak Mahbi dari atas sampan setelah
menghitung tiram. “Ya, hanya dua puluh,” imbuhnya setelah berdekatan
dengan Julantip. “Enam tiram lagi. Kamu dua, Sukri dua, aku dua.
Masing-masing akan kubeli.”
***
JULANTIP menyelinap dan bersembunyi di
balik gundukan pasir, menghindari teman-temannya yang masih asyik
bermain. Tidak, tidak, mereka bukannya tidak tahu apa yang akan
dilakukannya di balik gundukan pasir dan membawa sekarung kecil tiram.
Ya, mereka tahu, pastilah ia akan membuat ulah sebagaimana sering
dilakukan pada hari-hari sebelumnya atau kalau tidak, menunggu Munati,
gadis kecil yang sering ikut serta ibunya, Markoya, menyunggi tapih dari
anyaman kulit bambu, menjajakan nasinya secara berkeliling.
Lihatlah, dari kejauhan Munati menjinjing keranjang
berjalan beriring di belakang ibunya. Caranya berjalan sepadan penari
tandak, berlenggang. Terkadang, langkah kedua perempuan itu lebih cepat,
ujung jemarinya menjinjing ujung sarung lorek hingga di atas lutut. Bau
asin tubuh dua perempuan itu bercampur semerbak siwalan, menyeruak,
tingkah genitnya membuat mata orang-orang kampung bersegera melayangkan
pandang, lebih-lebih saat keduanya istirahat dan menceburkan diri di
hulu dengan tubuh hanya terbalut kain sarung.
Oh. Lihatlah, lihat wajah sumringah itu, rambut
bergerai, lekuk-lekuk tubuh. Ikh, bau asin garam bercampur lelehan
keringat setelah menempuh perjalanan jauh sebagai penjual nasi keliling
tetap saja tak membuat orang-orang yang duduk membujur seurut laut
memalingkan pandang. Demikian juga dengan Markoya yang membiarkan
tubuhnya ditatap lekat para lelaki. Sebaliknya, sambil berendam ia
menembang.
***
DI balik gundukan pasir, Julantip
menyembulkan kepala, mengintip. Munati melirik. Dua mata beradu pandang.
Ketika gadis kecil itu berpaling, melangkah, buru-buru ia melempar
tiram, dan tiram tersebut menggelinding setelah tersentuh lengan gadis
anak penjual nasi keliling. Sontak Munati menoleh sebelum akhirnya
kembali melangkah, angin menyingkap roknya hingga di atas lutut. Tetapi
kemerisik langkah dan sebentuk bayang rentangan tangan seperti hendak
menghalang, menghentikannya berjalan.
“Untukmu,” kata Julantip memberikan sekarung tiram.
“Simpan dan jaga, di sini, di balik gundukan pasir itu,”
bisik Munati sambil melekatkan bibirnya. “Puah! Kulitmu asin,” meludah,
“Tunggu aku. Selepas mengantar ibu aku segera kembali.”
Julantip mengangguk senang. “Aku akan mengajarimu berenang,” bisik Julantip.
Munati mengangguk, melangkah pelan. Berdendang riang.
Keranjang dari anyaman bambu di tangannya terayun ke kanan-ke kiri, lalu
menungging, sepasang kakinya direntangkan sambil menyelundupkan kepala
lewat selangkangannya, gerai rambutnya terjuntai pada rok yang
tersingkap.
“Ti… Munati….”
Lekas Munati menyusul ibunya yang berdiri tak jauh di depan orang-orang kampung nelayan. “Ikh!” Markoya mendeham, geram.
Kepada laki-laki yang duduk di luar gubuk, Markoya
menawarkan barang dalam bungkusan kresek kecil. Tidak, tidak, bukan
bumbu cabe atau kunyit yang ia tawarkan melainkan remah-remah kayu,
buliran bedak, obat kuat, dan laki-laki yang ia tawari itu mengangguk.
“Murah,” kata Markoya, dadanya dibusungkan.
“Bisa dicoba?” tanya laki-laki itu berkelakar. Markoya
mengulum senyum. Laki-laki itu menyelipkan uang ke balik kutang Markoya.
“Nanti siang di gundukan pasir itu,” imbuhnya.
***
MARKOYA mengambil jalan setapak menuju
kampung nelayan. Begitu selalu, sebelum ia menjual nasinya di gubuk tepi
pantai, terlebih dahulu ia berkeliling dari rumah-ke rumah kampung
nelayan. Menawarkan nasi.
Rumah-rumah orang kampung nelayan rata-rata menghadap ke
utara, berhalaman pasir putih dengan halaman tanpa pagar pembatas
antara halaman rumah satu dengan rumah lainnya, sesanak-kerabat bersatu
dalam satu rumah. Pada halaman yang panjang beralas pasir, sebelah barat
ujung rumah, sebuah langgar dari anyaman bambu menghadap ke timur,
samping langgar ada satu dapur menghadap ke selatan bersebelahan dengan
sumur. Persis dekat undakan serentang kain dalam bingkai kayu sedang
dijemur.
Ke rumah itulah kini Markoya menuju, meniti harap menyunggi tapih,
menawarkan nasi, nasi yang masih utuh. Pasir-pasir beserpihan saat
telapak kakinya menapak dan tumit terangkat dalam langkah. Ia akan
berhenti di teras rumah atau di tengah halaman beralas pasir sambil
berteriak menawarkan nasinya. Bila di rumah hanya ada seorang laki-laki,
tanpa merasa segan ia akan berkata, “Sepi, Kak. Belum makan, kan? Nasi
masih hangat,” membujuk dengan tingkah menggoda, “dijamin hangat.”
Durakkap kala itu lagi sendiri. Tidak ada Julantip, anaknya, juga Sitti,
istrinya.
“Mau kalau penjualnya,” goda Durakkap.
“Nasinya lebih enak daripada penjualnya, Kak.” Markoya berlenggang. Melirik ke beranda rumah Durakkap yang berdebu.
“Mumpung sepi.”
Markoya berpaling, langkahnya pelan, diangkatnya ujung
sarung hingga betisnya terlihat jelas. “Nantilah, Kak. Beli nasi saya
dulu,” ujar Markoya.
Lekas Durakkap bergegas, tetapi Markoya segera bersiasat
memanggil seorang perempuan, dan seketika itu pula tawanya pecah
sehingga membuat seseorang yang kebetulan lewat dalam heran berucap
aneh: Senok!
***
SEUSAI berkeliling menjajakan nasinya
di rumah-rumah kampung nelayan, Markoya segera pergi ke pantai menggelar
jualannya di antara kerumunan para nelayan yang duduk bertekuk lutut
berselempang sarung. Tak jauh dari tempatnya berjualan, persis di tepi
pantai, laki-laki dan perempuan dalam posisi berjongkok berjejer sedang
berak.
Belasan perahu yang tertambat di tepian berayun-ayun
pelan seperti bayi-bayi dalam buaian. Ombak tak putus-putus membentur
buritan dan menimbulkan suara dentaman yang terus-menerus terdengar.
Angin, yang menderu kencang ke arah laut, mematahkan juga
ranting-ranting cemara udang yang kemudian berguguran ke atap sebuah
gubuk tempat beristirahat para nelayan. Hamparan pasir berhamburan.
Melesat ke udara tanah pesisir yang gersang; rinjing tempat ikan
pindang, alas tempat menjemur ikan dari rajutan janur kering
berterbangan, anyir ikan yang sengaja dikeringkan menyeruak, dan sampah
yang berserak melesak, tersangkut tiang bambu perahu yang terkapar di
antara rindang pohon cemara udang.
Markoya tampak sibuk melayani pembeli. Ada yang dimakan
langsung, ada juga minta dibungkus. Begitu selalu, bila ikan lagi musim,
jualannya akan habis di tempat seketika, lalu ia akan berlenggang
pulang dengan seringai senyum sebelum hari beranjak petang.
Ya, kini ia berlenggang senang menuju pulang. Ingin ia
segera tiba di rumahnya. Ihk, dehamnya sambil menebarkan pandang,
menoleh ke belakang. “Ti… Munati…,” teriaknya. Ya, sudah sejak di gubuk
ia tak melihat anak gadisnya. Lelehan keringat tampak mengalir di sela
jidatnya yang berkerut.
Dari kejauhan seorang lelaki berjalan lekas. Markoya menurunkan tapih-nya,
baju dibuka, dan kini, di tubuhnya hanya tinggal sarung yang diikat
persis di atas dadanya, lalu dengan agak kesal ia pergi ke tepi pantai.
Maklumlah, matahari yang kelewat terik memaksanya
berendam meski sejenak, dan ini biasa ia lakukan baik sebelum
mengelilingi kampung nelayan maupun ketika akan pulang.
Beberapa langkah setelah ia meletakkan pakaiannya di
atas tapih, dari balik gundukan pasir terdengar suara rengek perempuan,
senyum pun terkulum, ia ingat tadi dengan janji lelaki yang membeli
jamunya. Markoya menghela napas, sejentik harap menguak; tempat yang
dijanjikan laki-laki tadi sudah ditempati orang lain. “Ia pasti malu.
Tak mungkin melakukan. Mungkin besok, saya tidak jualan,” gumamnya
sambil melipat baju, kutang.
Suara laki-laki dan perempuan dari balik gundukan pasir
itu semakin keras: tawa, lenguhan kesakitan. Sejenak Markoya melangkah
lebih dekat. Suara itu tidak asing, bisiknya. Ia semakin mendekat, dan
suara itu juga semakin jelas, dan ketika sepasang matanya menangkap dua
tubuh sedang bertindihan ia tak percaya.
“Munati? Julantip?” sontak ia memanggil, geram.
Sementara dari balik pohon cemara udang seorang lelaki bersiul, memandang Markoya, penuh hasrat. (*)
.
.
Paseser, 2010
Mahwi Air Tawar, lahir di Pesisir Sumenep, Madura.
Sejumlah cerpen dan puisinya dipublikasikan di pelbagai surat kabar.
Cerpen dan puisinya juga termuat di sejumlah antologi bersama. Buku
kumpulan cerpennya Mata Blater (2010). Kini, di samping sebagai editor lepas, ia mengelola komunitas sastra poetika dan rumahlebah.
0 komentar:
Posting Komentar