Esai ini menjadi Pemenang ke Dua pada lomba menulis esai
sastra yang diselenggrakan oleh komunitas penulis muda (penulismuda.com) dalam
rangka memeringati wafatnya Chairil Anwar pada 2010.
Judul Asli:
Metamorfosa Sastra Hingga Menggugah dan Mengubah
Oleh Suguh Kurniawan
“Tidak satu pun diantara mereka akan langeng.
Yang langgeng adalah mereka yang menulis hanya karena jika tidak melakukannya
mereka seakan-akan meledak.” (Anthony de Mello)
Apabila sastra diibaratkan dengan pesawat, maka penulis
adalah pilotnya dan pembaca adalah penumpangnya. Akan dibawa kemana pesawat?
bergantung kehendak sang pilot. Ia bertanggung jawab penuh atas keselamatan
para penumpang hingga burung besi tersebut landing dilandasan. Berangkat dari
ilustrasi singkat itu, ‘pesawat sastra’ memiliki tanggung jawab moral untuk
mencerahkan kehidupan bangsanya. “A drop of ink can move billion peoples to
think.”, kata idiom lama, sementara Subcomandante Marcos, Pemimpin geriliawan
Zapatista berujar,“nuestra palabra es nuestra arma.” (kata adalah senjata) Lebih dari Segurat Kata Sebagaimana
diungkapkan Horace, sastra berfungsi sebagai Dulce et utile yaitu penghibur
sekaligus berguna.
Dua ‘hulu ledak’ ini, sejak awal harus disadari dengan
jernih oleh para penulis sebelum berkarya. Karena efek ledakannya bukan hanya
bersifat insidental tapi multidimensional.
Menghibur bukan berarti latah ikut ikutan trend, Terjebak dalam
perangkap kapitalisme penerbitan yang membabi buta memenuhi selera pasar tapi
tidak menghiraukan ekses negatifnya. Bila hal tersebut menjadi prioritas utama,
maka yang muncul kemudian adalah buku buku dangkal filosofis, kering pesan
moral dan meaningless kecuali hanya untuk menuaskan selera sesaat.
Penulis Montgomery Belgion menyebutnya sebagai Irresponsible
propagandist (propagandis tidak bertanggung jawab), karena disadari atau tidak
tulisan seperti halnya cat dan kuas dapat memulas ‘kanvas’ para pembaca dengan
ide-ide yang dikandungnya. Hal tersebut
dikuatkan dengan realita generasi muda kita yang miskin militansi, kering
idealisme dan buta nilai-nilai.
Budaya hedon telah menyulap mereka menjadi konsumen sampah
kebudayaan barat yang rakus. Kebebasan tanpa kontrol telah menghilangkan jati
diri ketimuran, dimana moralitas tidak lagi menjadi rambu dalam hubungan antar
manusia dan norma norma tak risih lagi untuk dilanggar. Hal ini terefleksi dari
Gaya hidup bermewah mewah anak muda kita dalam novel, cerpen, esai yang sangat
kontras dengan nasib tiga puluh dua juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah
garis kemiskinan.
Suatu preseden buruk bagi hubungan kelas sosial antar kaya
miskin, kuat lemah, kuasa tak berkuasa. Edy Firmansyah, Esais sekaligus
pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Jakarta mengatakan, “Mencipta karya sastra
yang melangit dan eksklusif secara tak langsung berarti memaksa masyarakat alpa
terhadap perubahan.” Menyikapi hal
tersebut dibutuhkan fungsi kedua, yaitu ‘dapat berguna’. terlepas dari genre
masing-masing penulis, dibutuhkan karya-karya yang berani melawan mainstream.
Pesan moral, kemanusiaan, sosial dan pendidikan dapat diusung menjadi tema
utama sebagai bentuk refleksi masyarakat kita yang sebenarnya. Karya monumental
seperti tetralogi laskar pelangi karya Andrea Hirata, Ayat Ayat Cinta karya
Habiburahman Al Shirazy atau Manusia Manusia Langit karya Helvy Tiana Rosa bisa
dijadikan acuan. Kendati semula dianggap aneh, tidak populer dan asing tapi
kemudian karya karya tersebut dapat merajai bursa buku nasional.
Pembacapun mendapat nilai plus menuju arah yang lebih
positif atas apa yang telah mereka deras dan telaah. Buku cerdas niscaya dapat
mencerdaskan dan seperti dikatakan oleh aktifis kemanusiaan Chico mendez,
perubahan terstruktur hanya tinggal menunggu waktu. Semangat itulah yang dirasa sangat relevan
guna menghadapi realita saat ini dan masa datang.
Kedepan, mendirikan penerbit independen yang dapat menampung
karya karya para penulis idealis wajib hukumnya. Hal ini telah dibuktikan oleh
resist book yang berani beda dengan meluncurkan buku buku bertema perlawanan.
Sokongan dana dari penulis mapan, sponsor dan pihak pihak yang peduli terhadap
perubahan mesti digalang. Dengan demikian, dari penerbitan tersebut dapat
muncul sejumlah karya yang dapat meredusi terbitan yang sifatnya merusak.
Selain itu membuka jalan pula bagi para penulis berbakat pemula yang selama ini
tidak mendapat kesempatan mengorbitkan naskah mereka karena terisisih oleh
sistem.
Save to landing Perubaham bukan cuma mimpi bila ada sinergi
dari semua kalangan. ‘Pesawat sastra’ yang kelak akan landing dilintasanpun
dipastikan dapat membawa para penumpangnya dengan selamat. Landasan yang
dimaksud adalah terbentuknya suatu pemahaman global bahwa tiap manusia musti
menjalankan fungsi fungsi sosial untuk manusia dan lingkungannnya.
Melalui sastra kita menjadi peka terhadap realita kemudian
tergerak untuk melakukan perbahan. “I
have a dream”, kata Martin Luther King, ketimbang meributkan rute penerbangan
yang dipastikan sangat panjang, lebih baik kita mengencangkan sabuk pengaman,
mengatur kemudi dilintasan dan mulai membawa pesawat sastra kita pada jalurnya
yang benar. Entah sampai kapan ia melayang layang diudara dalam mencari
landasannya, yang paling penting adalah para penulis (termasuk kita
barangkali), sebagai pilot telah membuka jalan menuju landasan itu. Tabik !
0 komentar:
Posting Komentar