Ini dia sekelumit yang sering diharapkan para
pekerja. Tentu saja bukan hal salah, tetapi bagaimana hal tersebut menjadi
kebiasaan, dan menjadi kewajiban setiap Akhir Bulan Ramadhan. Lalu bagaimana
THR itu muncul. Simaklah dibawah ini, seperti apa kemunculan THR pertama kali.
Kapan istilah THR itu muncul belum bisa diketahui
pasti tapi uang tunjangan yang diberikan saben akhir bulan puasa itu dimulai
kali pertama pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari partai Masyumi.
Kabinet tersebut dilantik oleh Presiden Sukarno
pada April 1951. Salah satu program kerja kabinet Soekiman adalah meningkatkan
kesejahteraan pamong pradja (kini, Pegawai Negeri Sipil). Menurut Saiful Hakam,
peneliti muda LIPI, kabinet Soekiman membayarkan tunjangan kepada pegawai di
akhir bulan Ramadhan itu sebesar Rp125 (waktu itu setara dengan US$11, sekarang
setara Rp1.100.000) hingga Rp200 (US$17,5, sekarang setara Rp1.750.000). “Bukan
hanya itu, mula-mula kabinet ini juga memberikan tunjangan beras setiap
bulannya,” kata Hakam.
Tak pelak lagi soal tunjangan itu mendapat
respons negatif dari kaum buruh. Kaum buruh merasa dikentutin. Mereka
yang bejibaku kerja keras memeras keringat bakal hidup anak-bini di rumah tak
dapat perhatian apa pun dari pemerintah. Itu sebabnya pada 13 Februari 1952,
buruh mogok, menuntut minta tunjangan dari pemerintah. Tapi bukan pemerintah
Republik Indonesia namanya kalau mengikuti keinginan buruh. Tentara pun turun
tangan supaya buruh tutup mulut. Bungkam.
Terus, kenapa bisa THR menjadi kebijakan kabinet
Soekiman dari Masyumi itu. Bukan rahasia lagi kalau sebagian besar pamong
pradja bin pegawai negeri itu terdiri dari para priayi, menak, kaum ningrat
turunan raden-raden zaman kumpeni yang kebanyakan berafiliasi ke Partai
Nasional Indonesia (PNI). Dus, ceritanya Soekiman mau ambil hati
pegawai dengan memberikan mereka tunjangan di akhir bulan puasa dengan harapan
mereka mendukung kabinet yang dipimpinnya. Masuk di akal juga kalau para
pegawai itu, yang katanya gajinya kecil itu, dapat sedikit dana tambahan buat
menghadapi lebaran. Nah, sejak itulah THR jadi anggaran rutin di pemerintahan
bahkan sekarang kalau ada perusahaan yang mangkir tak bayar THR karyawannya
bisa kena tegur pemerintah, bahkan kena pinalti.
Kalau mau dibilang wajar, ya wajar juga pegawai
yang bergaji kecil itu dapat tunjangan hari raya. Apalagi kalau kaum buruh juga
kecipratan tunjangan. Yang tidak wajar itu adalah memasukan uang ke dalam
kardus duren. Seperti kata orangtua kita, meletakan sesuatu itu harus pada
tempatnya. Uang di kardus duren, sudah jelas salah tempat. Sama salahnya
memakai kolor pergi ke mesjid atau bawa raket tenis buat berenang di
kolam.
Memang perkara uang selalu bikin runyam. Tak dulu
tidak sekarang. Bedanya kalau pemimpin zaman dulu masih agak tebal imannya.
Haji Agus Salim cuek saja memakai kemeja tambalan padahal dia Menteri Muda Luar
Negeri. Dr Leimena cuma punya dua potong kemeja sementara Bung Hatta tak pernah
mampu beli sepatu merk Bally sampai akhir hayatnya. Malah bisa jadi mereka tak
pernah dapat jatah THR, seperti zaman sekarang. Tapi dalam catatan sejarah,
sebelangsak apa pun hidup mereka, tak pernah ditemukan fakta melakukan korupsi.
Ini sekaligus mematahkan tesis Soeharto bahwa orang korup karena hidup susah.
Padahal hidup mesu budi alias asketik itu soal pilihan. Apalagi jadi pemimpin.
Menderita itu keniscayaan, seperti kata Mr. Kasman Singodimedjo, Een
leidersweg is een lijdensweg, leiden is lijden. Jalan seorang pemimpin
adalah jalan penderitaan, memimpin adalah menderita.
Tapi sekarang siapa yang sanggup hidup menderita?
Apalagi dalam waktu yang lama. Soal waktu memang soal relatif. Bisa lama bisa
sebentar. Itulah sebabnya kenapa yang penting dalam hidup ini bukanlah soal
uang tapi semata soal waktu. Seperti pribahasa Inggris Time is Money,
waktu adalah uang. Masalahnya: ada waktunya kita punya uang, ada waktunya kita bokek.
Tapi persoalannya, kita sering bokek dalam waktu yang berkepanjangan.
Tak mengapa, yang penting kita sambut lebaran, waktunya bermaaf-maafan. Asal
jangan buat memaafkan koruptor. Wassalam.
(Historia - Bonnie Triyana)
0 komentar:
Posting Komentar