Tanggapan Bohemian Rhapsody
dalam Memahami musikalisasi Puisi. Tapiu Menyusul.
Entahlah,
mengapa sampai saat ini pengertian musikalisasi puisi masih saja menimbulkan
suasana konflik. Kerap kali masalah ini bisanya berangkat dari ketidakpuasan
atas hasil penilaian lomba-lomba. Jelas saja karena adanya perbedaan persepsi
tentang pengertian musikalisasi puisi antara mereka/peserta dengan dewan
juri/panitia.
Memang
realitanya sampai saat ini, belum ada devinisi musikalisasi puisi yang
mutakhir. Bahkan dalam banyak buku teks sastra tidak mengenal apa itu
musikalisasi puisi, apalagi pembahasannya tentang musikalisasi puisi.
Dari kondisi
ini, maka dapat saja setiap individu memberikan pengertian yang berbeda-beda
tentang konsep atau konvensi musikalisasi puisi. Beberapa situasi pemahaman
sederhana atas musikalisasi selama ini yang berkembang adalah:
- dalam musikalisasi puisi tidak boleh ada orang membaca puisi
- tidak semua diksi dalam puisi bisa dinyanyikan jadi boleh dibacakan
- membaca puisi dan diiringi musik bukanlah musikalisasi puisi
- membaca puisi diiringi musik juga merupakan kegiatan musikalisasi puisi
- unsur teatrikal bukanlah bagian dari musikalisasi puisi
***
Mengapa
musikalisasi puisi tidak terdefinisikan? Dan mengapa pula istilah itu sering
ditolak? Pertama, bahwa secara etimologi musikalisasi puisi merupakan dua
konstruksi yang hampir identik, yakni musik dan puisi. Puisi telah memiliki
unsur musikalitas tersendiri melalui diksi, irama dan rimanya, maka mengapa
pula harus dimusikalisasikan dengan memberikan unsur musik kepada puisi.
Beberapa
seniman atau sastrawan pernah mengusulkan istilah “musik puisi”, yang
tekanannya pada kolaborasi musik dan puisi. Sementara dalam “musikalisasi
puisi”, puisi yang memiliki aturan-aturan dan kaidah-kaidah sendiri dipandang
harus tunduk menjadi objek, yang bisa diperlakukan apa saja dalam proses itu.
Kedua,
musikalisasi puisi merupakan kegiatan yang bersifat kreatif. Kreatif, artinya
gagasan musikalisasi puisi didasari oleh dan dari keinginan-keinginan
individual bersifat subyektif yang bertujuan untuk kepuasan pribadi. Puisi,
selain sebagai karya sastra yang harus diinterpretasikan, juga dapat menjadi
medium kreativitas. Dan ketiga, karena bersifat kreatif, maka musikalisasi
puisi pun tidak memiliki kategori-kategori, batasan, atau aturan-aturan yang
bersifat mengikat.
***
Musik
(music) sering dipahami sama dengan lagu (song). Berangkat dari pengertian
inilah, maka musikalisasi puisi sering terjerumus pada anggapan mengubah sebuah
puisi menjadi lagu. Ini jelas kurang tepat, karena musik tidak identik dengan
lagu.
Musik yang
berasal dari bahasa Inggris, music, secara sederhana memiliki pengertian
“berirama”, suatu susunan bunyi-bunyi bernada yang membentuk sebuah irama
tertentu yang harmoni. Sementara pengertian lagu (dari bahasa Arab; al laghwu)
lebih ditujukan pada suatu teks atau lirik yang dengan sengaja dan sadar
dinotasikan dengan nada-nada tertentu.
Tanpa lagu
pun sebuah konstruksi musik akan tetap dapat terbangun. Simponi klasik
misalnya, secara umum tidak memiliki teks. Demikian juga instrumentalia ala
Kitaro, Kenny G., atau Francis Goya sebagian besar juga tidak memiliki teks.
Selain itu ada juga nyanyian, seperti alchapella, rubaiyah, syair atau suluk,
yakni lagu yang mengandalkan kemampuan musik alami manusia dan tidak memerlukan
alat musik pengiring.
***
Puisi
tercipta untuk dibaca, karenanya membaca dan puisi bagai senapan dan pelor.
Pembacaan diperlukan karena puisi mengandung sistem kode yang rumit dan
kompleks. Ada kode bahasa, kode budaya dan kode sastra. Untuk memahami sebuah
puisi, maka pengetahuan akan ketiga kode ini sangat diperlukan.
Musikalisasi
puisi pun harus beranjak dari konsep pembacaan ini. Pembacaan yang
diintegrasikan dengan nada dan melodi dapat memperkuat suasana puisi,
memperjelas makna dan ikut membantu membentuk karakter puisi itu sendiri.
Karena itu, dalam kegiatannya, jangan memaksakan totalitas puisi menjadi lagu,
jika tidak tepat dapat merusak, bahkan menghancurkan puisi itu sendiri.
Banyak
bagian puisi hanya akan kuat kalau dibacakan, yang justru akan hancur kalau
dilagukan. Misalnya tempo dan negasi.
Tempo dalam
puisi berfungsi untuk mendapat efek, dan negasi (saat diam) berfungsi untuk
menciptakan suasana kontemplatif, sugestif dan aperseptif dalam sebuah puisi. Dalam
pembacaan puisi, negasi juga bisa membantu seorang pembaca untuk improvisasi,
jika mengalami “habis napas”. Dalam satu bait puisi dapat dimungkinkan terdapat
beberapa tempo yang berbeda, dan bisa terjadi beberapa kali perubahan negasi.
Sementara
pada lagu, negasi tidak ada. Persamaan istilah yang mungkin mendekati adalah
kadens. Pada lagu kadens adalah jeda antara satu frasa dengan frasa berikutnya,
bait satu ke bait berikutnya, atau saat menuju refrain dan fading. Sedangkan
tempo pada lagu dikandung oleh satu konstruksi bait, yang ditentukan kecepatan
gerak pulsa dalam tiap-tiap notasi.
Tempo dan
negasi adalah dua ciri khas membaca puisi yang sulit untuk dilagukan. Jika pun
dipaksa untuk dilagkan, maka dapat terjadi disharmoni irama lagu itu sendiri.
Karena itu, dalam kegiatan musikalisasi puisi, bait dan bagian-bagiannya atau
beberapa larik dalam bait jika memiliki tempo dan negasi yang ketat, maka pada
bagian ini disarankan untuk tetap dibacakan, tidak dilagukan. (Sebagai
modifikasinya dan improvisasi, pada bagian ini diisi saja dengan bunyi alat
musik).
Selain tempo
dan negasi, enjambemen puisi merupakan hambatan tersendiri dalam musikalisasi
puisi. Enjambemen adalah pemenggalan baris yang berhubungan antar baris berikutnya
yang mampu menciptakan efek makna baru. Dengan adanya enjambemen ini, maka
pemenggalan baris-baris puisi oleh penyairnya menentukan makna puisi, karena
banyak puisi yang secara tipografik tidak menggunakan tanda baca atau tidak
mengenal huruf kapital. Suatu tindakan yang sangat tidak apresiatif, jika kita
mengorbankan enjambemen sebuah puisi, atau tidak mengindahkannya dalam kegiatan
musikalisasi puisi, demi harmonisasi irama lagu.
Puisi harus
tetap puisi. Musikalisasi puisi harus tetap menghormati puisi sebagai teks
sastra, tidak bertujuan mengubahnya sebagai teks lagu. Karena pada dasarnya
puisi tidak ditujukan sebagai teks lagu, maka banyak puisi memiliki peluang
yang kecil untuk dapat dilagukan. Teks puisi diciptakan oleh penyairnya pada
hakikatnya adalah untuk dibaca, sedangkan teks lagu dibuat memang dengan tujuan
untuk dilagukan.
Intinya,
jangan menjadikan puisi subordinat dalam musikalisasi puisi. Pernyataan benar,
karena banyak keterbatasan dalam memusikalisasikan puisi. Jangan mengorbankan
puisi demi menjadi sebuah lagu, walaupun menjadi lagu yang baik sekalipun,
namun merusak puisi itu.
***
Membaca
puisi diiringi alat musik bukan musikalisasi puisi. Pemikiran ini mungkin tidak
bisa begitu saja dipaksakan. Penjelasan ini, bagi para juri atau panitia lomba
musikalisasi puisi, harus dipertimbangkan, agar tidak bersikukuh mengatakan
membaca puisi diiringi alat musik bukanlah musikalisasi puisi.
Namun tetap
diperhatikan, bahwa alat musik tersebut tidak hanya sekedar mengiringi
pembacaan puisi belaka, yang mungkin membuat puisi cuma jadi semakin enak
dinikmati, lebih dari itu musik atau alat musik di sini harus mampu
berintegrasi dengan puisi, di mana musik yang dipergunakan memang diaransemen
atau diimprovisasikan untuk dapat mengikuti irama dan musik yang ada pada puisi
dan semakin memperjelas suasana puisi.
***
Lagu-lagu
Ebiet G. Ade sering dijadikan contoh sebagai hasil musikalisasi puisi. Ini
jelas kurang tepat dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Kita lupa, bahwa
Ebiet G. Ade tidak mencipta puisi, tetapi dia memang mencipta lagu. Ebiet G.
Ade tidak dapat dianggap sebagai penyair, dia adalah pencipta lagu dan
penyanyi. Belum pernah ada, misalnya antologi puisi-puisi Ebiet G. Ade.
Meskipun Ebiet G Ade secara tegas menulis dalam pengantar kaset di album
perdananya, yakni Camelia, bahwa ia membawakan musikalisasi puisi. “Ia ingin
disebut sebagai penyair yang bernyanyi”.
Benar,
sebagian lagu-lagu yang dibawakan oleh Bimbo adalah hasil musikalisasi puisi,
sebut saja lagu “Salju”, puisinya Wing Kardjo, “Balada Sekeping Taman Surga”,
“Sajadah Panjang” atau “Rindu Rasul” merupakan puisi-puisi Taufik Ismail. Benar
pula ada lagu-lagu Iwan Fals berangkat dari musikalisasi puisi, seperti
“Kantata Takwa, Kesaksian, Sang Petualang dan Paman Doblang” adalah puisi-puisi
Rendra, di mana dalam lagu ini kita mendengar Rendra membaca puisi, sementara
lagu “Belajar Menghargai Hak Azasi Kawan” adalah musikalisasi puisi mbelingnya
Remi Sylado. Sementara “Perahu Retak” karya Taufik Ismail dimusikalisasikan
oleh Franky Sahilatua.
Benar pula,
lagu-lagu Ebiet G. Ade sebagaimana juga lagu-lagu Leo Kristi, Ulli Sigar
Rusady, Franky dan Jane, lagu-lagu Emha Ainun Nadjib, sebagian lagu-lagu Katon
Bagaskara, Letto dan juga Opick memiliki kata-kata yang puitik, tetapi itu semua
bukan puisi. Itu semua adalah lagu! Bahkan, banyak lagu-lagu puitik tersebut
tidak begitu berhasil ketika dibacakan atau dideklamasikan, karena memang
struktur dasarnya adalah untuk dilagukan, bukan dibaca.
***
Musikalisasi
puisi sendiri hingga hari ini belumlah merupakan sebuah alat atau metode
apresiasi karya sastra. Sekali lagi, dia sebagaimana juga dramatisasi juga
teatrikalisasi puisi; adalah merupakan kegiatan yang bersifat kreatif dan
inovatof, sebagai daya ungkap kita dalam mengeksresikan sebuah karya sastra
secara ekspresif. Namun, dalam sebuah kegiatan khusus, pada suatu lomba
misalnya, perbedaan ini akan selalu menjadi konflik jika tidak terjembatani.
Dalam lomba
musikalisasi puisi, perbedaan persepsi tentang musikalisasi wajib dipahami oleh
panitia atau penyelenggara lomba, sehingga tidak total menyerahkan begitu saja
kepada otoritas dewan juri, yang tentu memiliki persepsi sendiri apa itu
musikalisasi puisi yang bisa saja berbeda jauh dengan pemahaman peserta lomba.
Sebenarnya
penentuan kriteria yang jelas tentang konsep musikalisasi puisi yang dipakai
dalam lomba dapat meminimis konflik yang akan timbul. Dan bukan membiarkan
peserta lomba menafsirkan kriteria lomba dengan sendirinya.
Jika sudah
demikian, maka di akhir perlombaan tidak akan terjadi atau menimbulkan suasana
konflik yang berangkat dari ketidakpuasan peserta atas hasil akhir penilaian
tim dewan juri, karena yang terbaiklah yang akan muncul sebagai pemenangnya. Semoga
Manfaat!
0 komentar:
Posting Komentar